Senin, 18 Februari 2013

TRANSAKSI DERIVATIF DALAM PANDANGAN ILMU SYARIAH

TRANSAKSI DERIVATIF DALAM PERSPEKTIF SYARIAH
(Bagian III)
Alquran dan transaksi derivatif
Oleh : Agustianto
Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) dan Dosen Pascasarjana UI, Trisakti dan Univ.Paramdina
Pelarangan riba yang secara tegas terdapat dalam Al-Qur’an (QS: 2 :275-279), pada hakikatnya merupakan pelarangan terhadap transaksi maya atau derivatif . Firman Allah, “Allah menghalalkan jual-beli (sektor riel) dan mengharamkan riba (tranksaksi maya)”.
Dalam transaksi maya, tidak ada sektor riel (barang dan jasa) yang diperjualbelikan. Mereka hanya memperjualbelikan kertas berharga dan mata uang untuk tujuan spekulasi. Tambahan (gain) yang diperoleh dari jual beli itu termasuk kepada riba, karena gain itu diperoleh bighairi wadhin, yakni tanpa ada sektor riel yang dipertukarkan, kecuali mata uang  atau kertas-kertas itu sendiri. Dalam transaski derivatif juga tidak ada ma’kud ’alaih, berupa barang/jasa yang menjadi rukun dalam transaksi bisnis. Transaski inilah yang  dilarang Alquran dan hadits dengan istilah riba dan gharar.
Pencipta alam semesta dan pencipta manusia, Dialah Allah Rabbbul ‘Alamin, Dialah yang paling dan Maha pintar dari siapapun. Dia sudah memberikan jawaban dalam kitabnya Alquran bahwa akar masalah kerusakan ekonomi adalah riba (QS.30 : 39 -41) . Dalam semua Kitab suci yang diturunkanya Taurat dan Injil, dia juga telah mengharamkan riba. Tak diragukan sedikitpun bahwa akar masalah yang paling utama adalah sistem riba yang menjadi instrumen dan jantung kapitalisme dalam seluruh transaksi keuangan. Walaupun harus diakui bukan riba satu-satunya yang menjadi akar terjadinya krisis finansial tersebut.
Dalam surah Ar-Rum ayat 41 Allah berfirman, :”Telah nyata kerusakan di darat dan di laut, karena ulah tangan manusia, supaya kami timpakan kepada mereka akibat dari sebagian perilaku mereka.Mudah-mudahan mereka kembali ke jalan Allah”
Konteks ayat ini sebenarnya berkaitan dengan dampak sistem moneter ribawi yang dijalankan oleh manusia, pendekarnya adalah Amerika dan Eropa dan selanjutnya diikuti oleh Indonesia dan negara lainnya. Ayat sebelumnya yakni ayat 39 berbicara dengan jelas bahwa sistem riba tidak akan menumbuhkan ekonomi masyarakat, tetapi malah merusak perekonomian. Firman Allah “Apa yang kamu berikan (pinjaman) dalam bentuk riba agar harta manusia betambah, maka hal itu tidak bertambah di sisi Allah” (QS.ar-Rum : 39)
Ayat Alquran tersebut berbicara dalam konteks ekonomi makro, artinya menganalisis ekonomi secara agregat, bukan secara mikro, seperti membandingkan harga jual beli murabahah dengan bunga bank konvesnional. Bunga bank konvensional bagi banyak orang tak begitu terasa bagi kerusakan ekonomi, tetapi ketika bunga sudah menjadi sistem finansial global dan nasional, maka dampaknya luar biasa jahat bagi pembangunan ekonomi. Bunga, sedikit atau banyak tetap disebut riba, sebagaimana daging babi yang sedikit dengan yang banyak, yang sedikit tetap daging babi juga. Hadits Nabi Saw, “Sedikit dan banyaknya hukumnya haram”. Demikian pula riba, baik diterapkan dalam ekonomi mikro maupun makro tetap haram.
Kerusakan ekonomi dunia dan Indonesia berupa krisis saat ini adalah akibat ulah tangan manusia yang menerapkan riba yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Pakar Ekonomi Islam asal USA, Prof.Dr.Monzer Kahf mengatakan, “Riba has a great contribution to the current crisis but it is alone not the sole element in it, of course Riba contributed through creating layers of financial transactions that resulted in a domino effect of institutions and the economy at large, but there is the lust for profit that caused over stretching of finance to persons who cannot continue paying their debts, their also the expanded consumerism in the American society that shares in creating unbearable debt burdens, etc.”
Jadi menurutnya, riba’ telah memberikan  kontribusi yang besar kepada krisis ini meskipun ia mengakui bahwa riba’ itu sendiri bukanlah satu-satunya elemen penyebab krisis. Riba  memberikan konstribusi  melalui  transaksi-transaski derivative dan spekulatif  pada institusi institusi keuangan. Penyebab lainnya ialah hawa nafsu serakah  mencari keuntungan dari mereka yang tidak berdaya meneruskan pembayaran hutang. Sikap ini juga adalah gejala dari expanded consumerism dalam masyarakat Amerika itu sendiri.
Kegagalan sistem keuangan sebagai akibat dari trinitas setan itu, dengan bahasa yang berbeda, secara implisit diakui oleh Henry Poulson, Menteri Keuangan A.S. Dalam laporannya sebagai Ketua President’s Working Group(PWG) on Financial Markets (April 2008), Poulson dengan tegas menyatakan bahwa penyebab utama terjadinya krisis subprime mortgages di A.S. adalah: (1) merosotnya mutu/standar penjaminan bagi subprime mortgages; (2) erosi yang signifikan terhadap disiplin pasar yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait dengan proses sekuritisasi, termasuk originators, underwriters, credit rating agencies, dan global investors; (3) kegagalan dalam menyediakan dan memperoleh informasi risiko (risk disclosures) yang memadai; (4) kelemahan yang mencolok (significant flaws) pada perusahaan pemeringkat kredit, khususnya dalam menilai: a) subprime residential mortgage backed securities (RMBS) dan b) collateralized debt obligations (CDOs)yang dikaitkan dengan RMBS dan asset backed securities (ABS) lainnya; (5) kelemahan manajemen risiko pada sejumlah institusi keuangan besar di A.S. dan Eropa; dan (6) kelemahan regulasi termasuk mengenai persyaratan modal dan keterbukaan informasi (disclosure) yang gagal dalam memitigasi kelemahan manajemen risiko.
Keenam hal tersebut di atas yang menurut Poulson marak terjadi  sejak tahun 2004, bertepatan dengan masa jabatan kedua Presiden Bush, secara sengaja atau tidak sengaja, telah ikut menyuburkan transaksi yang bersifat gharar dan maisir sehingga transaksi keuangan yang seharusnya didasarkan kepada underline asset, keterbukaan dan fairness berubah menjadi transaksi keuangan yang bersifat sangat spekulatif dan juga addictive yang sangat berbahaya dan sulit dihentikan.
Interaksi pasar modal yang penuh gharar dan maisir dengan perbankan yang ribawi, selain dengan cepat menggoyahkan sendi-sendi sistem dan pasar keuangan–akibat asset write down yang menggerus aset dan modal serta bad debt yang menggerus laba, juga semakin menjauhkan kegiatan sektor keuangan dari sektor riil. Lebih buruk lagi, dampak negatif tersebut juga harus dirasakan oleh perusahaan dan negara yang sebelumnya tak ada permasalahan serius.
Hindari Maghrib
Perlu ditegaskan kembali bahwa  ekonomi kapitalisme yang rawan krisis itu, tidak melarang praktik maghrib, sedangkan ekonomi Islam sangat keras mengecamnya. Magrib adalah akronim dari maysir, gharar dan riba. Tiga macam praktik terlarang inilah yang menjadi faktor dan biang utama krisis. Maysir adalah kegiatan bisnis yang berbentuk judi dan spekulasi. Spekulasi selalu terjadi di pasar modal dalam bentuk short selling dan margin trading. Sedangkan gharar ialah transaksi maya, drivatif dan karena itu ia menjadi bisnis resiko tinggi). Riba ialah pencarian keuntungan tanpa dilandasi kegiatan transaksi bisnis riel. Di pasar modal seringkali para investor meraup keuntungan tanpa adanya underlying asset, atau sektor riel yang melandasinya. Tujuan investor bukan untuk menanam saham secara riil di sebuah emiten, tetapi semata untuk meraih gain melalui praktik margin trading. Selain itu harus diketahui bahwa di dalam financial market, margin trading dan fiat standart ditetapkan berdasarkan instrumen bunga.
Di pasar uang kegiatan transaksi spekulasi valas semacam transaksi swap, forward dan options selalu terjadi. Semua transaksi tersebut bertentangan dengan syariah, karena mengandung riba. Sementara itu, ekonomi syariah adalah ekonomi yang berusaha menempatkan keseimbangan antara sektor keuangan dan sektor riil (atau bisa disebut economy 1 on 1). Artinya ekonomi yang mengkaitkan secara ketat antara sektor moneter dan sektor reil. Tegasnya, one monetery unit for one real asset. Dalam kerangka itulah Ekonomi Islam mengajarkan kegiatan bisnis riel melalui jual beli, bagi hasil dan ijarah
Jantung dari sistem ekonomi kapitalisme adalah riba. Riba adalah punca dari segala macam krisis. Artinya riba adalah biang utama terjadimya krisis. Kegiatan spekulasi dalam bentuk margin trading dan short selleing di pasar modal adalah riba, karena tanpa dilandasari oleh underlying transaction yang riel. Kegitan traksaksi derivatif di bursa berjangka dan bursa komoditi semuanya adalah riba. Kegiatan spekuasi valas dengan motif untuk spekulasi, bukan untuk transaksi adalah kegiatan ribawi. Sedangkan untuk jaga-jaga (preceutionary) hukumnya makruh.
Ambillah 100-an buku-buku Islam (fiqh, tafsir dan hadits), lalu lihat dan analisis-lah definisi riba. Dari ratusan definisi riba itu disimpulkan, bahwa riba ialah az-ziyadah lam yuqabilha ‘iwadh, artinya, riba adalah tambahan yang diperoleh tanpa didasarkan adanya ‘iwadh. Iwadh ialah transaksi bisnis riel yang terdiri dari 3 macam, yaitu jual beli, bagi hasil dan ijarah, Jual beli contohnya ialah seperti jual beli dengan segala macamnya (jual beli murabahah, salam, istisna), Transaksi bisnis riel juga dapat diwujudkan dengan bagi hasil dan ijarah,. Bagi hasil diwujudkan dengan konsep mudharabah, syirkah, mudharabah musytarakah, musyarakah mutanaqishah dan muzara’ah. Sedangkan ijarah diwujudkan dengan ijarah biasa, ijarah muwazy (paralel), IMBT.
Transaksi mudharabah dan musyarakah serta transaksi jual beli murabahah, salam, istisna’ dan ijarah (leasing), memastikan keterkaitan sektor moneter dan sektor riel. Oleh karena itu pula salah satu rukun jual beli ialah ada uang ada barang (ma’kud ‘alaihi). Dengan demikian, future trading dan margin trading yang tidak diikuti dengan pengiriman barang adalah tidak sah. Jelasnya bahwa konsep ekonomi Islam menjaga keseimbangan sektor riel dan sektor moneter. Begitu pula dengan perbankan Islam yang pertumbuhan pembiayaannya tidak dapat terlepas dari pertumbuhan sektor riel yang dibiayainya.
Yang jelas tidak boleh ada tambahan (keuntungan) tanpa adanya transaksi bisnis riel. Seorang spekulan mata uang, yang maraup keuntungan dari selisih harga beli dollar dan jualnya, adalah pelaku riba. Dalam ekonomi Islam, uang tidak boleh dijadian sebagai komoditas sebagaimana yang banyak dipraktikkan dewasa ini dalam kegiatan transaksi bisnis valuta asing. Menurut Ekonomi Islam, transaksi valas hanya dibenarkan apabila digunakan untuk kebutuhan transaksi di sektor riel, seperti membeli barang untuk kebutuhan import, berbelanja atau membayar jasa di luar negeri dan sebagainya. Jual-beli valas untuk kepentingan spekulasi, amat dilarang dalam Islam. Jual-beli valas untuk kepentingan spekulatif menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian.
Dampak spekulasi valas ialah nilai suatu mata uang dapat berfluktuasi secara liar. Solusinya adalah mengatur sektor finansial agar menjauhi dari segala transaksi yang mengandung riba, seperti transaksi-transaksi maya di pasar uang. Mengambil gain dan keuntungan tanpa didasarkan pada kegiatan bisnis sektor riil adalah riba, baik di pasar uang maupun di pasar modal. Maka, seorang spekulan saham di pasar modal juga telah melakukan praktik riba.bahkan lebih jauh ia telah masuk kepada praktik gharar dan maysir. Demikian pula seorang yang ikut dalam transaksi bursa berjangka juga telah melakukan transaksi ribawi.
Karena ekonomi Islam tidak memisahkan sektor moneter dan sektor riil, maka jumlah uang yang beredar menurut Islam, ditentukan oleh banyaknya permintaan uang di sektor riel atau dengan kata lain, jumlah uang yang beredar sama banyaknya dengan nilai barang dan jasa dalam perekonomian. Demikian kata Ibnu Taymiyah di buku Majmu’ Fatawa pada abad pertengahan Islm
Dalam ekonomi Islam, sektor finansial mengikti pertumbuhan sektor riel, Inilah perbedaan konsep ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional, yaitu ekonomi konvensional, jelas memisahkan antara sektor finansial dan sektor riel. Akibat pemisahan itu, ekonomi dunia rawan krisis, Sebab, pelaku ekonomi tidak lagi menggunakan uang untuk kepentingan sektor riel, tetapi untuk kepentingan spekulasi mata uang.
Spekulasi inilah yang dapat menggoncang ekonomi berbagai negara,apalagi negara yang kondisi politiknya tidak stabil. Akibat spekulasi itu, jumlah uang yang beredar sangat tidak seimbang dengan jumlah barang di sektor riel.
Spekulasi mata uang yang mengganggu ekonomi dunia, umumnya dilakukan di pasar-pasar uang. Pasar uang di dunia ini saat ini, dikuasai oleh enam pusat keuangan dunia (London, New York, Chicago, Tokyo, Hongkong dan Singapura). Nilai mata uang negara lain, bisa saja tiba-tiba menguat atau sebaliknya. Lihat saja nasib rupiah semakin hari semakin merosot dan nilainya tidak menentu.
Di pasar uang tersebut, peran spekulan cukup signifikan untuk menggoncang ekonomi suatu negara. Lihatlah Inggris, sebagai negara yang kuat ekonominya, ternyata pernah sempoyongan gara-gara ulah spekulan di pasar uang, apalagi kondisinya seperti Indonesia, jelas menjadi bulan-bulanan para spekulan. Demikian pula ulah George Soros di Asia Tenggara tahun 1997..
Bagi spekulan, tidak penting apakah nilai menguat atau melemah. Bagi mereka yang penting adalah mata uang selalu berfluktuasi. Tidak jarang mereka melakukan rekayasa untuk menciptakan fluktuasi bila ada momen yang tepat, biasanya satu peristiwa politik yang menimbulkan ketidakpastian.
Menjelang momentum tersebut, secara perlahan-lahan mereka membeli rupiah, sehingga permintaan akan rupiah meningkat. Ini akan mendorong nilai rupiah secara semu ini, akan menjadi makanan empuk para spekulan. Bila momentumnya muncul dan ketidakpastian mulai merebak, mereka akan melepas secara sekaligus dalam jumlah besar. Pasar akan kebanjiran rupiah dan tentunya nilai rupiah akan anjlok. Para spekulan meraup keuntungan dari selisih harga beli dan harga jual. Makin besar selisihnya, makin menarik bagi para spekulan untuk bermain.
TRANSAKSI DERIVATIF DALAM PERSPEKTIF SYARIAH
(Bagian IV)
Oleh : Agustianto
Kesadaran ekonom dan negara maju
Sebenarnya, sebagian pakar ekonomi dunia telah menyadari kerapuhan sistem moneter kapitalisme seperti itu. Teori Bubble growth dan random walk telah memberikan penjelasan yang meyakinkan tentang bahaya transaksi maya (bisnis dan spekulasi mata uang dan bisnis (spekulasi) saham di pasar modal).
Para pemimpin negara-negara G7 pun, telah menyadari bahaya dan keburukan transaksi maya dalam perekonomian. Pada tahun 1998 mereka menyepakati bahwa perlu adanya pengaturan di pasar uang sehingga tidak menimbulkan krisis yang berkepanjangan. Jadi, bila negara-negara G7 telah menyadari bahaya transaksi maya, mengapa Indonesia masih belum melihat dampak negatifnya bagi perekonomian dan segera mendorong konsep dan blueprint ekonomi Islam..
Selanjutnya, untuk meminimalisir kegiatan spekulasi dan bubble economy para ekonom Barat mengusulkan untuk mengetatkan regulasi investasi. Ben Bernake, Chairman of Federal Reserve bahkan sampai meminta kepada konggres AS untuk menyetujui penambahan regulasi bagi bank investasi agar tidak terjadi spekulasi yang berlebihan di pasar aset keuangan. Pendapat senada juga diutarakan oleh Direktur IMF Strauss-Kahn mengenai perlunya penambahan aturan dan transparansi untuk menghidari krisis yang lebih parah. Meskipun kedua pernyataan ini terdengar berlawanan dengan semangat kapitalisme AS, namun akhirnya sebagian ekonom dan pengamat pasar keuangan sepakat bahwa liberalisasi pasar keuangan cenderung mendorong kepada ketidakstabilan ekonomi.
Joseph  Stiglitz, pemenang Hadiah Nobel 2002 dari Harvard University  mengatakan, “Pada akhirnya, Negara AS yang selama ini membangga-banggakan sistem kapitalisme yang dianutnya ke berbagai negara di dunia, mendapat kritikan tajam setelah AS sendiri tidak mampu membuktikan bahwa model ekonomi yang dianutnya adalah model ekonomi yang bisa mensejahterakan umat manusia”.
Menurut Stiglitz, krisis keuangan di AS yang menjalar menjadi krisis keuangan global bahkan lebih buruk dari Great Depression pada era 1930-an, telah membuka mata masyarakat internasional akan rapuhnya sistem kapitalisme yang dianut Negeri Paman Sam. Sistem ini terbukti, pada akhirnya hanya membuat mereka yang menganutnya menjadi sengsara dan menderita .(Washington Post)
Sementara itu, menurut Krugman, peraih Nobel Ekonomi 2008,   ekonomi dunia akan mengalami resesi dalam kurun waktu yang lama. Dia mengakui bahwa krisis ini memang menakutkan,
PernyAtaan senada diungkapkan Investor dunia, George Soros. Dia menilai krisis yang menerjang pasar finansial saat ini sangat serius. Krisis ini, menurutnya, lebih hebat dibanding krisis finansial lainnya sejak berakhirnya Perang Dunia kedua,. Soros menegaskan yang terancam resesi bukan hanya perekonomian Amerika Serikat saja, tapi juga Eropa.
Karena kegawatan sistem moneter global tersebut, PM Inggris Gordon Brown mengatakan agar dibentuk arsitektur keuangan dunia baru menyerupai Bretton Woods yang muncul setelah Perang Dunia II. Bagi Eropa, krisis ini begitu dalam, AS harus siap dengan sistem baru itu, Christian de Boissieu, ekonom dan penasihat Presiden Sarkozy. mengatakan pembentukan sistem itu kemudian harus melibatkan pengganti Presiden Bush.
Di samping itu, Kanselir Jerman Angela Merkel mendukung pertemuan G-8, yang juga dihadiri pemimpin China, Brasil, dan India di New York. Pertemuan itu mengusulkan pembentukan Bretton Woods II, seperti usulan Perancis.
Sementara itu, negara-negara  kaya dan berkembang yang tergabung dalam Kelompok 20 (G-20) yang menguasai 85 persen perekonomian dunia, menyatakan, bahwa mereka  bertekad akan menggunakan segala cara untuk mengatasi krisis finansial yang mengguncang pasar dunia. untuk menjamin stabilitas dan berfungsinya dengan baik pasar financial.
Para pemimpin Asia dan Eropa yang bertemu dalam Konferensi Tingkat Tinggi Ke-7 Asem di Beijing, China, pada 25 Oktober 2008  telah mnyepakati untuk segera melakukan perombakan sistem moneter dan finansial internasional secara menyeluruh dan efektif. Mereka juga menyerukan kepada Dana Moneter Internasional (IMF) agar segera mengambil peran utama dalam membantu negara-negara yang kesulitan keuangan.
Usulan perombakan sistem moneter dan finansial internasional sebelumnya keras disuarakan Eropa. Kini suara itu makin menguat dengan dukungan dari negara-negara Asia melalui KTT Asem yang dihadiri para pemimpin dari 43 negara itu.
Presiden Perancis Nicolas Sarkozy menyatakan, ”Eropa berusaha menawarkan untuk keluar dari krisis keuangan yang di luar perkiraan. Ini adalah pertemuan tingkat tinggi yang sangat bermanfaat dan menjanjikan. Eropa dan Asia memiliki banyak hal yang bisa dilakukan bersama.
Dengan menyatunya suara Eropa dan Asia itu, tinggal Amerika Serikat yang masih harus menetapkan pendirian. AS selama ini diketahui enggan merombak sistem finansialnya yang memiliki banyak kelemahan dalam hal kontrol. Alasannya, karena khawatir akan mengganggu asas perdagangan bebas.
Ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, pernah mengungkapkan, kapitalisme mutakhir yang digerakkan sektor keuangan (financially-driven capitalism) tumbuh pesat luar biasa sejak awal dasawarsa 1980-an. Transaksi di sektor keuangan meroket ratusan kali lipat dibandingkan dengan nilai perdagangan dunia
.
Di negara-negara maju, lalu lintas modal bebas bergerak praktis tanpa pembatasan. Sementara itu, makin banyak saja negara berkembang yang mengikuti jejak meliberalisasikan lalu lintas modal. Jika pada tahun 1970-an hanya 20 persen emerging market countries yang tergolong liberal dalam lalu lintas modal mereka, dewasa ini sudah meningkat dua kali lipat.
Uang dan instrumen keuangan lainnya tak lagi sekadar sebagai penopang sektor produksi riil, melainkan telah menjelma sebagai komoditas perdagangan, diternakkan beranak pinak berlipat ganda dalam waktu singkat. Produk-produk keuangan dengan berbagai macam turunannya menghasilkan ekspansi kapitalisme dunia yang semu.
Reformasi Moneter Indonesia
Sudah menjadi keniscayaan bagi Indonesia untuk meredisign  kebijakan ekonomi moneter Indonesia karena sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini bila diteruskan  sangat berbahaya bagi kesejahteraan Indonesia di masa depan. Sistem kapitalisme senantiasa mengancam krisis demi krisis. Sistem kapitalisme itu sangat rawan dan gampang menciptakan krisis. Selain itu, sistem kapitalisme akan menciptakan kesenjangan pendapatan dan ketidak-adilan  ekonomi, sistem kapitalisme belum sepenuhnya berpihak pada kepentingan rakyat banyak
Kegagalan ekonomi kapitalisme seharusnya dijadikan momentum dan pelajaran bagi bangsa Indonesia untuk melakukan reformasi sistem moneter secara bertahap Sudah saatnya pemerintah mengubah paradigma kebijakan pembangunan ekonomi nasional dari orientasi akumulasi kapital kepada orientasi keadilan sesuai dengan prinsip syariah Islam dan realitas sosial masyarakat yang bersumber dari akar sejarah bangsa.
Tidak ada satu pihak pun yang memiliki akal sehat,  yang menolak urgensinya pendekatan makro dalam pembangunan ekonomi untuk keselamatan Negara di masa depan. Pendekatan makro diperlukan untuk menganalisis perilaku ekonomi masyarakat. Misalnya, mengapa banyak pengangguran dan kemiskinan ? Mengapa inflasi tinggi? Mengapa nilai kurs berfluktuasi, mengapa harga-harga saham berjatuhan, dsb.
Selanjutnya,  Pemerintah diharapkan (didsak)  agar lebih akomodatif terhadap sistem  ekonomi syariah yang telah terbukti selama 40 tahun berkembang dengan pesat di saat krisis global datang mnelanda secara bertubi-tubi. Bahkan jika kita menarik  sejarah ke masa yang lebih lampau, tercatat bahwa selama 4000an tahun ekonomi dunia mengalami stabilitas, hal ini dikarenakan ekonomi syariah memiliki konsep yang unggul dalam mewujudkan stabilitas, kesejahteraan, dan inflasi serta keadilan / pemerataan.
Selama ini sudah memang ada perbankan dan LKS, namun dalam skala yang lebih luas dan makro, pemerintah belum menjadikan ekonomi syariah sebagai sistem ekonomi andalan. Jika Indonesia masih berkiblat ke Barat (Amerika dan Eropa) yang memiliki sistem ekonomi yang rapuh, maka yakinlah Indonesia pasti akan terancam krisis terus-menerus sepanjang sejarah. Kebijakan pemerintah baru-baru ini (Kontan, 25 April 2009), yang tidak menggunakan dollar dalam transaksi di Departemen Perhubugan patut diacungi jempol dan hendaknya regulasi ini diterapkan secara bertahap ke berbagai macam transkasi lainnya, dunia parawisata, dan sebagainya.
Selanjutnya, pemerintah jangan setengah hati menerapkan bank-bank syariah, asuransi syariah, surat berharga syariah negara, pasar modal syariah, leasing, pegadaian syariah dan lembaga keuangan mikro syariah yang pro kepada sektor riil dan kemaslahatan ekonomi rakyat. Dengan krisis ini sesungguhnya Allah hendak mengingatkan betapa sistem ribawi itu ternyata merusak dan menghancurkan perekonomian umat manusia. Inilah makna firman Allah Luyuziiqahum ba’dhal lazi ‘amiluu la’allahum yarj’iuun. (QS.30 : 41) Maksudnya, krisis itu Kami timpakan kepada mereka (akibat ulah tangan mereka), supaya mereka kembali kepada sistem yang benar, sebuah sistem ilahiyah yang berasal dari Tuhan Allah. Itulah ekonomi syariah. Allahu Akbar.
Indonesia, harus dengan cepat dan cerdas mengambil langkah-langkah drastis untuk mengatasi crisis global. Dampak ke sektor perbankan memang perlu diantisipasi secara prioritas, termasuk dampak psikologis, mengingat peranan sektor perbankan yang lebih besar serta trauma krisis moneter tahun 1997-1998.
Tantangan yang dihadapi perekonomian Indonesia juga masih cukup besar termasuk masih adanya tekanan  inflasi dan nilai tukar (Indonesia adalah satu-satunya negara menaikkan suku bunga!!)  serta masih tingginya tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan.  Perlu ditambahkan bahwa target-target ekonomi makro yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) belum ada yang tercapai sesuai yang direncanankan.
Kestabilan ekonomi termasuk kestabilan sektor keuangan merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Oleh karena itu, langkah-langkah jangka pendek di atas, perlu segera disertai dengan langkah-langkah untuk membami dan meninggalkan sistem dan praktek trinitas setan sebagaimana diutarakan sebelumnya, apalagi bagi Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Sistem keuangan dan perbankan syariah yang bebas dari riba, gharar dan maisir sebagaimana dimaksud dalam UU Perbankan Syariah yang telah diundangkan baru-baru ini, perlu segera dikembangkan secara serius. Namun sistem keuangan tanpa trinitas setan itu, juga belum dan masih perlu dilengkapi dengan nilai-nilai ekonomi islami lainnya. Sistem ekonomi islami telah secara tepat dijadikan acuan oleh para pendiri atau founding fathers kita sebagaimana tercantum dalam Mukadimah dan sejumlah pasal UUD 1945 yang pada pokoknya mengimpikan terciptanya masyarakat yang adil dan makmur.
Ajaran-ajaran Islam, seperti perintah untuk berlaku adil khususnya bagi para penguasa atau umara, perintah untuk membayar zakat, infak dan sedekah bagi orang yang berada, hukum waris, anjuran untuk hidup sederhana serta larangan hidup mewah dan berlebihan (prohibition of extravagance), perintah untuk membantu fakir miskin, penyelenggaraan baitul maal oleh negara dan lainnya, jelas sangat sarat dengan nilai-nilai keadilan (justice) termasuk keadilan distributif (distributive justice) dan nilai-nilai kemakmuran bersama (social welfare)
—————————————————————————–
Seiring dengan pesatnya permintaan terhadap instrumen keuangan yang patuh terhadap prinsip-prinsip syariah baik itu datangnya dari individu maupun corporate, maka perlulah ada guidelines dan parameters disetiap produk yang ditawarkan khususnya produk-produk yang masih menjadi debatable dikalangan ulama modern. Salah satu instrumen tersebut adalah bagaimana para investor maupun korporasi yang ingin mengamankan posisi (hedging) mereka ketika melakukan sebuah transaksi dapat menggunakan instrumen yang sesuai syariah sehingga transaksi yang mereka lakukan tidak melanggar aturan agama. Dikarnakan jikalau instrumen ini tidak diberikan paramaters dan guidelines dikhawatirkan akan cuma menjadi produk konvensional yang diberikan nama syariah oleh para playersnya. Selain itu, produk ini dapat dijadikan tempat spekulasi dimana hal ini lumrah terjadi di instrumen keuangan konvensional.
Ada beberapa parameters yang perlu kita jadikan pertimbangan dalam penggunaan Islamic derivative sebagai sebuah tool untuk hedging mechanism seperti yang dilakukan oleh AAOIFI ketika menyebutkan sebuah produk yang masih debatable, dan hal ini dilakukan juga oleh DSN-MUI ketika mengesahkan Komoditi Syariah di Bursa Berjangka sehingga produk ini tidak disalah gunakan oleh perbankan syariah yang notabene lahirnya untuk investasi ke sector ril. Kemudian, hal ini juga di usulkan oleh pemerhati keuangan Syariah seperti Dr. Aznan Hasan dan Dr. Asyraf wajdi dusuki dalam tulisan mereka dengan tujuan untuk menghilangkan unsur maghrib (maysir, gharar dan riba) didalam instrumen tersebut.
Islamic Derivative untuk Hedging Mechanism
Mungkin banyak sekali yang menyayangkan kenapa Islamic derivative harus muncul dan digagas oleh beberapa shariah scholars dikarnakan tuntutan oleh beberapa investor besar dan korporasi yang sudah ngeh dengan produk syariah. Dikarnakan term derivative ini sudah memiliki image buruk dikalangan teman-teman yang sudah mengerti bagaimana buruknya derivative dalam menghancurkan system keuangan dikarnakan disetiap instrumen mereka menggunakan system membeli risiko dan memakain instrumen interest didalam setiap transaksinya.
Seperti contohnya di produk futures dan forwards, instrumen ini dilarang didalam syariah dikarnakan pertama, banyak sekali yang menggunakan instrumen ini untuk spekulasi bukan untuk membeli barang tersebut sebenarnya, maka dari itu di Islamic derivative harus diganti instrumen ini dengan bay’ al-salam dimana buyer betul-betul akan membeli produk ini bukan untuk spekulasi, yang kedua, permasalahan diproduk ini mereka mengakhirkan harga dan barang sekaligus dimana hal ini dilarang didalam syariah. Sebagaimana syariah melarang pengakhiran harga dan barang dalam satu waktu (laa yajuuzut ta’jil al badalain). Maka syariah mengisyaratkan untuk memakai konsep bay’ al-‘urbun dimana buyer yang akan membeli instrumen tersebut membayar uang muka tanda jadi yang ini akan masuk menjadi bagian dari harga barang tersebut. Ketiga permasalahannya adalah penggunaan interest (riba) didalam setiap transaksinya, maka syariah melarang memasukkan interest didalam instrumen ini dikarnakan mentreat uang sebagai komoditas, maka dari itu, haruslah dilihat dari barang akan akan dibeli. Hal ini bisa dilakukan di option juga baik itu call option ataupun put option.
Contoh lainnya adalah yang biasa digunakan adalah swap, dimana swap ini menurut Marshall dan Kapner di perkenalkan lebih awal dibandingkan produk derivative lainnya. Sebagaimana contohnya currency swap diperkenalkan di Amerika pada tahun 1970an. Menariknya, instrumen ini diterima baik oleh public pada saat itu dimana total transaksi swap naik lebih dari USD 700 milyar di tahun 1989 dengan total outstanding swap mencapai USD 4,6 triliun pada tahun 1992. Yang menarik lagi adalah menurut Bank of International Settlement, transaksi swap secara global mencapai lebih dari USD 415,2 triliun pada tahun 2006. Dimana perusahaan, bank, asuransi, dan institusi keuangan lainnya sangat merasakan manfaat dari instrumen ini khususnya untuk hedging dari volatilitas pasar keuangan. Akan tetapi yang menjadi isu syariah diswap ini adalah penggunaan interest didalamnya, spekulasi dan kadang-kadang yang diswap bukanlah instrumen yang sesuai atas syariah. Atau kadang mereka menswap sesuatu yang real dengan sesuatu yang tidak real seperti yang terjadi di credit default swap (CDS) dimana swap ini murni spekulasi dari investor (buyer).
Maka dari itu, dengan adanya Islamic swap nanti, haruslah menggunakan akad-akad yang sesuai dengan syariah dengan tujuan murni untuk hedging bukan untuk spekulasi.
Kenapa Islamic Derivative?
Meskipun proposal ini sempat ditolak mentah-mentah oleh mantan ketua AAOIFI syeikh Taqi Usmani, akan tetapi produk ini tetap diperlukan dikarnakan perusahaan dan investor besar memerlukan instrumen ini untuk menghedging posisi mereka. Jika tidak, maka transaksi yang dilakukan investor ini adalah spekulasi dimana mereka berspekulasi atas setiap transaksi mereka karna tanpa menggunakan hedging instrument.
Ada beberapa alasan Islamic derivative ini digunakan, sebagaimana derivative pada umumnya, yaitu bisa mengurangi biaya, jikalau misalnya dikhawatirkan harganya akan naik di tiga bulan kemudian, bisa mengakseske market yang lebih besar lagi dan bisa menjalankan transaksi sesuai dengan syariah.
Syariah Parameters dalam Islamic Derivative
Secara umum, ketika kita berbicara mengenai instrumen Islamic derivative, tujuan utama dari pengembangan instrumen ini tidak lain tidak bukan tidak jauh berbeda dengan kovensional yaitu hedging. Jika kita langsung memandang produk ini tidak bisa dilaksakan karna sama saja dengan conventional derivative, mungkin hal ini dinilai kurang tepat karna struktur yang kita tawarkan sangat berbeda dengan derivative di konvensional pada umumnya meskipun dari sisi nama sudah memiliki image yang tidak baik. Maka dari itu, menurut pendapat penulis pribadi, saya lebih melihat struktur akad tersebut dibandingkan dengan namanya. Meskipun ada beberapa ulama klasik maupun modern lebih melihat esensi dari namanya bukan strukturnya. Gagasan saya ini sependapat dengan imam hanafi dialam kumpulan hukum di bukunya Majallatul ahkam al-‘adliyah dimana beliau mengatakan,“al ‘ibroh fil ‘uqud lil maqosid wal ma’ani laa lil alfaz wal mabani”, yang maksudnya adalah, esesnsi sebuah akad itu harus dilihat dari maksud dan maknanya, bukan dilihat dari nama yang dibgunakan. Sebagaimana kaidah fikih mengatakan “al ‘ibroh lil musammayat laa bil asma’ “ yang maksudnya esensi sesuatu itu dilihat dari tujuannya bukan namanya.
Hybrid Contract di Islamic Derivative
Pada dasarnya, ketika kita berbicara masalah Islamic derivative, hal ini berkaitan dengan penggabungan beberapa akad didalam sebuah kontrak, atau penggabungan perjanjian didalam sebuah transaksi. Dimana kalau hal ini kita kaitkan ke konteks syariah, maka secara explicit penggabungan dua akad atau lebih didalam sebuah transaksi itu dilarang didalam hukum syariah.
Sebagaimana didalam sebuah hadits hasan di kitab al muwatto’ 2/ 657 dan 663, nay al awthor 5/152 menyebutkan, “Naha rasulullah s.a.w ‘an bay’atain fi bay’ah wa ‘an sofqotain fi sofqoh, wa ‘an bay’ wa salaf”. Di Hadits ini jelas sekali bahwasanya Rasulullah s.a.w melarang penggabungan dua akad didalam satu kontrak, penggabungan 2 transaksi didalam satu transaksi, begitujuga pelarangan penggabungan jual beli dengan hutang.
Jika kita mengikuti begitu saja larangan ini secara harfiyah, maka akan sulit kita mempraktekkan perbankan syariah dizaman modern ini. Karna pada umumnya, akad-akad transaksi di perbankan syariah saat ini gabungan dari dua akad atau lebih. Begitu juga di instrument Islamic derivative, akad yang biasa digunakan adalah tawarruq, bay’ al-urbun dan ak-wa’du. Secara otomatis sudah tidak sesuai dengan syariah.
Akan tetapi AAOIFI tahun 2007 telah memberikan resolusi No. 25 bahwasanya seluruh penggabungan akad ini diperbolehkan asalkan akad satu dengan akad lain terpisah (‘uqud mustaqillah), kecuali penggabungan akad jual beli dengan hutang. Selanjutnya AAOIFI memberikan peraturan penggabungan akad sebagai berikut:
1. Penggabungan akad tidak boleh menggabungkan akad yang telah jelas dilarang didalam syariah seperti penggabungan jual beli dan hutang didalam satu akad.
2. Penggabungan akad tidak boleh digunakan sebagai trick (hilah) untuk menghalalalkan riba atau bunga. Seperti perjanjian jual dan beli kembali (sale and buy back agreement) antara dua pihak (bay al-‘inah) atau riba fadhl.
3. Penggabungan akad tidak boleh digunakan sebagai alat untuk riba misalnya creditur meminjamkan uang supaya bisa mendapatkan hadiah dari debitur atau memberikan manfaat lainnya seperti tumpangan dan lain lain.
4. Penggabungan akad tidak boleh kontradiksi dengan esensi akad tersebut. Sebagai contoh, seperti di akad mudharabah, tidak boleh ada garansi profit dengan memakai akad hibah yang dijaminkan, atau penggabungan penukaran mata uang dengan jualah, atau bay al-salam dengan jualah.
Parameter diatas juga dilakukan oleh Shariah Advisory Council di beberapa keuangan syariah di dunia seperti, Kuwait Finance House, Calyon Global Islamic bank, DSN-MUI, HSBC, RHB Islamic bank. Sebagai contoh ketika meeting Shariah Advisory Council Kuwait Finance House No.23/2006 pada tanggal 19 September 2006 di Kuwait, pada saat mengevaluasi produk Ijarah Rental Swap dengan menggunakan akad wa`ad mulzim min taraf wahid (unilateral binding promise) pada transaksi musawamah dan tawarruq, mereka memberikan empat persyaratan supaya sesuai dengan syariah;
Pertama, perjanjian didalam transaksi tersebut haruslah real, betul-betul transaksi bukan akal-akalan. Maksudnya adalah ketika transaksi ini terjadi harusnya benar-benar terjadi transaksi barang pada umumnya, keinginan seller untuk menjual, dan keinginan buyer untuk membeli dengan barang yang sudah jelas wujudnya. Kalau tidak, kita akan terperangkap dalam konsep fictitious tawarruq yang sudah diaplikasikan oleh banyak bank syariah baik itu dinegara tetangga maupun dibelahan dunia lainnya baik itu timur tengah ataupun eropa. Karna dari data yang terkumpul, hanya 2.7% transaksi komoditi murabahah dan tawarruq betul-betul digunakan oleh end user, dan 97.3% digunakan untuk transaksi derivative oleh speculator.
Kedua, setiap perjanjian tersebut haruslah mempunyai efek masing-masing akad yang digunakan, seperti contoh, ketika terjadi jual beli, maka perpindahan hak milik haruslah terjadi.
Ketiga, akad satu dengan yang lainnya haruslah terpisah (uqud mustaqillah).
Keempat, akad ini tidak boleh mensyaratkan sesuatu hal antara pihak penjual dan pembeli,
Didalam transaksi Islamic Derivative ini, ada beberapa tambahan parameters yang harus kita perhatikan supaya Islamic Derivative ini sangat mencolok perbedaannya dengan konvensional. Contoh, didalam transaksi derivative, barang yang diperdagangkan sering tidak real dan kadang tidak jelas keberadaannya, karna pada dasarnya transaksi ini dibuat untuk spekulasi, maka dari itu, syariah tidak membolehkan untuk memperdagangkan barang yang tidak real seperti transaksi di index emas dimana emas yang diperdagangkan disini bukanlah mas yang sebenarnya akan tetapi hanya mengacu pada harga emas di dunia. Ketika terjadi claim dari pembeli ingin mengambil emas yang dia punya, ia hanya bisa mengklaim uangnya saja, bukan emas, karna emas hanya dibuat sebagai komoditi index saja, bukan emas yang sebenarnya.
Maka dari itu, tambahan parameter syariah selanjutnya adalah:
Kelima, barang yang diperdagangkan haruslah barang yang real, ada wujudnya.
keenam; harus ada perpindahan kepemilikan (transfer of ownership). Hal ini juga menjadi perhatian penting ketika terjadi sebuah transaksi terutama transaksi Islamic Derivative. Barang yang menjadi objek perdagangan harus betul-betul berpindah kepemilikan dari penjual kepada pembeli tanpa ada embel-embel apapun. Jika tidak, kita akan terjebak kepada konsep bay’ al-inah dimana disana tidak terjadinya perpindahan kepemilikan dan implikasinya si pembeli harus menjual kembali barang itu dengan harga yang lebih rendah untuk mendapatkan uang tunai.
Keempat; dapat diantarkan ke pembeli jika di inginkan. Hal ini untuk menyatakan bahwasanya barang yang ditransaksikan Islamic Derivative ini adalah barangnya ril dan berwujud, ada perpindahan kepemilikan yang jelas, maka dari itu jika ini betul, maka ketika terjadi permintaan dari pembeli untuk mengirimkan komoditi tersebut ke tempat yang dia inginkan. Maka kewajiban penjual adalah mengantarkan komoditi tersebut ke pembeli dengan ketentuan yang berlaku, baik itu berapa hari komoditi ini bisa sampai ke tangan pembeli, dan berapa cost yang dikenakan kepada pembeli.
Kelima; barangnya harus bernilai sesuai dengan harga pasar. Hal ini sangatlah penting, karna kita tidak menginginkan konsep Islamic Derivative yang ada diluar diterapkan di Negara kita tercinta ini yang notabene paling syariah dari aspek shariah compliance sebuah produk. Jika tidak, kita hanya memperdagangkan sesuatu asset yang mana nilainya tidak sesuai dengan harga pasar masa itu. Meskipun kita juga bisa memakai konsep supply dan demand, akan tetapi ini harus dilandaskan dengan pricing yang jelas.
Keenam; lokasi barang yang ditransaksikan harus diketahui. Poin ini juga sangat penting, karna kita tidak mungkin memperdagangkan sesuatu yang kita tidak tau dimana letak barang yang dimaksud. Hal ini mungkin harus diawasi oleh dewan pengawas syariah di perusahaan tersebut dan memastikan bahwasanya barang tersebut ada di kota A, bertempat di pabrik B, kecamatan C di kilang X. dikarnakan, dalam pengesahan setiap produk Islamic Derivative di beberapa Negara, Shariah Advisornya memastikan barang yang ditransaksikan jelas keberadaannya.
Ketujuh; barangnya harus halal dan boleh menurut undang-undang. Hal ini juga telah menjadi poin utama di fatwa DSN No. 82 ketika mengesahkan fatwa komdoiti syariah, supaya tidak melanggar undang-undang Negara indonesia dan sesuai dengan syariah.
Kedelapan; harus jelas jenis, kualitas dan kuantitas yang diperdagangkan. Poin ini untuk menghilangkan gharar dari sebuah transaski. Jikalau jenis, kualitas dan kuantitasnya diketahui, maka gharar ini akan berpindah dari gharar fakhish (ketidak pastian yang besar) menjadi gharar yasir(ketidak pastian yang kecil) yang diperbolehkan dalam syariah. Seperti layaknya pembolehan Bay’ Salam yang awalnya tidak dibolehkan, akan tetapi dibolehkan dengan syarat sebagaimana disebutkan dalam hadis, salam dibolehkan asal jenis, kualitas dan kuantitasnya diketahui dan waktu pengirimannya ditetapkan. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas ketika rasulullah tiba di Madinah menemukan banyak masyarakat yang telah mempraktekkan jual beli forward (seperti salam) untuk buah-buahan dalam satu atau dua tahun. Lalu Rasulullah bersabda: Barang siapa yang bertransaksi salam kurma (untuk disampaikan nanti) haruslah mereka bersalam dengan jenis, kualitas dan kuantitas yang jelas dengan waktu yang jelas juga. (Bukhari, sahih, III, 234-44, hadith no. 441 dan 443)
Kesembilan; tidak boleh dipergunakan untuk keperluan short-selling. Hal ini untuk memastikan bahwasanya tidak ada issu menjual sesuatu akan tetapi penjual tidak memiliki barang tersebut, ataupun pembeli membeli barang tersebut dengan cara hutang.
Kesepuluh; barang yang diperdagangkan harus siap guna, bukan yang masih diolah. Ketentuan ini adalah untuk memastikan bahwasanya kita tidak memperdagangkan sesuatu yang tidak bisa digunakan oleh pembeli. Jangan sampai dalam transaksi Islamic Derivative ini menjual sesuatu yang masih diolah sehingga akan menghambat pengiriman ketika sang pembeli menginginkan barang tersebut dikirimkan kepadanya.
Peran Dewan Pengawas Syariah
Pengawas syariah sangat berperan penting dalam transaksi Islamic Derivative ini sehingga tidak melanggar prinsip-prinsip syariah. Karna peran dewan pengawas syariah disini sangat penting, maka dari itu perlulah dipilih orang-orang yang betul-betul memahami seluk beluk transaksi yang ada di Islamic Derivative dan menguasai fikih secara mendalam. Sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak di inginkan kedepannya dan menciptakan image lama terulang kembali dimana dewan pengawas syariah hanya digunakan sebagai pajangan dalam menghalalkan sebuah transaksi yang berbasis syariah.
Maka dari itu, perlu pengawasan ketat dan fit and proper test yang baik harus dilakukan kepada orang-orang yang akan menjadi dewan pengawas syariah di bursa komoditi syariah ini. Ada beberapa ilmu yang minimal harus dikuasai dewan pengawas syariah di bursa komoditi ini: pertama, harus mengetahui seluk beluk transaksi di bursa efek terutama Islamic Derivative. Apalagi jiakalau yang bersangkutan punya pengalaman dalam melakukan transaksi Islamic Derivative. Kedua, harus memahami fikih muamalah khususnya yang berkaitan dengan transaksi Islamic Derivative. Ketiga, harus mengetahui ilmu pasar modal syariah sehingga bisa terus mengecek kesyariahan produk ini. Keempat adalah yang tidak kalah penting yaitu mengetahui bahasa arab dan bahasa inggris, karna istilah-istilah yang digunakan dalam transaksi ini berdasarkan dari dua bahasa tersebut.
Penutup
Islamic Derivative adalah instrumen yang masih dibilang sangat baru di industri keuangan syariah di dunia, bahkan di Indonesia pun belum ada transaksi ini, maka dari itu perlu ada pengembangan lebih dalam kedepannya oleh pakar keuangan syariah. Disisi lain, produk ini jikalau kita lihat cuma dari nama yang tercantum saja tanpa melihat strukturnya lebih jelas, maka kita akan terjebak pengharaman sepihak tanpa melihat sisi syariahnya.
Kedepan, diharapkan ada masukan-masukan yang hangat untuk industri keuangan syariah terutama pengembangan produk, karna pada dasarnya Indonesia adalah Negara Investasi yang empuk bagi dunia umumnya dan timur tengah khususnya, tinggal mereka menunggu produk-produk dan instrumen unggulan yang dikeluarkan oleh Indonesia beserta undang-undang yang mendukung. Jika kita tidak merespon keinginan pasar yang besar ini, dikhawatirkan kita tidak bisa mengambil potensi pasar yang besar ini. Lebih khusus lagi, dua tahun kedepan kita akan menyongsong era baru industri keuangan syariah dibawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang mana haruslah ada masukan dan ide-ide segar yang digelontorkan, sehingga tidak mencegah pertumbuhan keuangan syariah kedepannya. Wallahua’alammu bisshawab
Penulis adalah Faculty Member (Trainer) Keuangan Syariah di Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI). Beliau juga Aktif sebagai Sekretaris Ikatan Ahli Ekonomi Islam (DPP IAEI Pusat), selain itu, beliau juga Dosen Perbankan Shariah dan Pasar Modal Shariah di Universitas Al Azhar Indonesia, Pascasarjana Universitas Trisakti, Universitas Islam Az Zahrah, Konsultan Asuransi Shariah, Perbankan Shariah dan Pasar Modal Shariah Zakirah Group, Trainer Fikih Muamalah on Islamic Banking and Finance Di Iqtishad Consulting MES, R&D WakafPro99 Dompet Dhuafa Jawa Barat, Kandidat Ph.D Islamci Banking and Finance (IIiBF) International Islamic University Malaysia. Selain itu, beliau juga sering diundang jadi pembicara baik itu dalam maupun luar negri.
Sumber: Majalah Sharing Edisi January 2012
H.M. Iman Sastra Mihajat Ph.D
Candidate of Islamic Banking and Finance (IIiBF) International Islamic University Malaysia
Tel: +60 17 2542253/ +62 838 22068882 www.imansastra.blogspot.com
——————————————————————–
Walmsley (1998) percaya bahwa paling tidak ada empat kegunaan derivative yaitu: pengalihan risiko (risk tansfer), peningkatan likuiditas (liquidity improvement), penciptaan kredit (credit creation), dan penciptaan ekuitas (equity creation). Dengan menggunakan derivative maka investor atau pengusaha dapat mengalihkan risiko keuangannya karena mereka telah melindungi diri dari ketidakpastian (hedging the risk). Karena derivative dapat dengan mudah diperdagangkan di pasar uang, maka derivative dipercaya sebagai instrument yang likuid (mudah cair) karena investor atau pengusaha dapat menguangkan derivative di pasar uang dengan relative cepat dikala mereka membutuhkan uang. Derivatif juga dapat menciptakan kredit dan ekuitas karena instrument derivative memperluas sumber kredit dan ekuitas dengan menciptakan jenis kredit dan ekuitas yang baru. Walmsley menegaskan bahwa manfaat penciptaan kredit dan ekuitas ini timbul karena investor dan pengusaha memiliki lebih banyak instrument Keuangan yang bisa dipilih.
Meskipun Walmsley mengakui bahwa ada juga kelemahan dari derivative, seperti bisa menimbulkan ketidakstabilan, tapi Walmsley berkesimpulan: “On balance, however, the innovations that have been made are almost certainly beneficial for the system as a whole” yang terjemahannya kurang lebih adalah bahwa secara umum derivative yang ada sebagai inovasi instrument Keuangan dapat dipastikan akan menguntungkan untuk sistem (keuangan) secara keseluruhan.
Fatwa MUI tentang Jual Beli mata uang, ada jenis transaksi yang diperbolehkan dan ada yang dilarang. Yang dihalalkan cuma Spot, sedangkan Transaksi Forward, Swap, Option termasuk yang dilarang (haram).
sumber :
genghiskhun.com/perbedaan-alur-judi-dengan-jual-beli-biasa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar