TRANSAKSI DERIVATIF DALAM PERSPEKTIF SYARIAH
(Bagian III)
Alquran dan transaksi derivatif
Oleh : Agustianto
Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) dan Dosen Pascasarjana UI, Trisakti dan Univ.Paramdina
Pelarangan riba yang secara tegas terdapat dalam Al-Qur’an (QS: 2
:275-279), pada hakikatnya merupakan pelarangan terhadap transaksi maya
atau derivatif . Firman Allah, “Allah menghalalkan jual-beli (sektor riel) dan mengharamkan riba (tranksaksi maya)”.
Dalam transaksi maya, tidak ada sektor riel (barang dan jasa) yang
diperjualbelikan. Mereka hanya memperjualbelikan kertas berharga dan
mata uang untuk tujuan spekulasi. Tambahan (gain) yang diperoleh dari jual beli itu termasuk kepada riba, karena gain itu diperoleh bighairi wadhin,
yakni tanpa ada sektor riel yang dipertukarkan, kecuali mata uang atau
kertas-kertas itu sendiri. Dalam transaski derivatif juga tidak ada ma’kud ’alaih, berupa barang/jasa yang menjadi rukun dalam transaksi bisnis. Transaski inilah yang dilarang Alquran dan hadits dengan istilah riba dan gharar.
Pencipta alam semesta dan pencipta manusia, Dialah Allah Rabbbul
‘Alamin, Dialah yang paling dan Maha pintar dari siapapun. Dia sudah
memberikan jawaban dalam kitabnya Alquran bahwa akar masalah kerusakan
ekonomi adalah riba (QS.30 : 39 -41) . Dalam semua Kitab suci yang
diturunkanya Taurat dan Injil, dia juga telah mengharamkan riba. Tak
diragukan sedikitpun bahwa akar masalah yang paling utama adalah sistem
riba yang menjadi instrumen dan jantung kapitalisme dalam seluruh
transaksi keuangan. Walaupun harus diakui bukan riba satu-satunya yang
menjadi akar terjadinya krisis finansial tersebut.
Dalam surah Ar-Rum ayat 41 Allah berfirman, :”Telah nyata
kerusakan di darat dan di laut, karena ulah tangan manusia, supaya kami
timpakan kepada mereka akibat dari sebagian perilaku
mereka.Mudah-mudahan mereka kembali ke jalan Allah”
Konteks ayat ini sebenarnya berkaitan dengan dampak sistem moneter
ribawi yang dijalankan oleh manusia, pendekarnya adalah Amerika dan
Eropa dan selanjutnya diikuti oleh Indonesia dan negara lainnya. Ayat
sebelumnya yakni ayat 39 berbicara dengan jelas bahwa sistem riba tidak
akan menumbuhkan ekonomi masyarakat, tetapi malah merusak perekonomian.
Firman Allah “Apa yang kamu berikan (pinjaman) dalam bentuk riba agar harta manusia betambah, maka hal itu tidak bertambah di sisi Allah” (QS.ar-Rum : 39)
Ayat Alquran tersebut berbicara dalam konteks ekonomi makro, artinya
menganalisis ekonomi secara agregat, bukan secara mikro, seperti
membandingkan harga jual beli murabahah dengan bunga bank konvesnional.
Bunga bank konvensional bagi banyak orang tak begitu terasa bagi
kerusakan ekonomi, tetapi ketika bunga sudah menjadi sistem finansial
global dan nasional, maka dampaknya luar biasa jahat bagi pembangunan
ekonomi. Bunga, sedikit atau banyak tetap disebut riba, sebagaimana
daging babi yang sedikit dengan yang banyak, yang sedikit tetap daging
babi juga. Hadits Nabi Saw, “Sedikit dan banyaknya hukumnya haram”. Demikian pula riba, baik diterapkan dalam ekonomi mikro maupun makro tetap haram.
Kerusakan ekonomi dunia dan Indonesia berupa krisis saat ini adalah
akibat ulah tangan manusia yang menerapkan riba yang bertentangan dengan
nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Pakar Ekonomi Islam asal USA, Prof.Dr.Monzer Kahf mengatakan, “Riba
has a great contribution to the current crisis but it is alone not the
sole element in it, of course Riba contributed through creating layers
of financial transactions that resulted in a domino effect of
institutions and the economy at large, but there is the lust for profit
that caused over stretching of finance to persons who cannot continue
paying their debts, their also the expanded consumerism in the American
society that shares in creating unbearable debt burdens, etc.”
Jadi menurutnya, riba’ telah memberikan kontribusi yang besar kepada
krisis ini meskipun ia mengakui bahwa riba’ itu sendiri bukanlah
satu-satunya elemen penyebab krisis. Riba memberikan konstribusi
melalui transaksi-transaski derivative dan spekulatif pada institusi
institusi keuangan. Penyebab lainnya ialah hawa nafsu serakah mencari
keuntungan dari mereka yang tidak berdaya meneruskan pembayaran hutang.
Sikap ini juga adalah gejala dari expanded consumerism dalam masyarakat Amerika itu sendiri.
Kegagalan sistem keuangan sebagai akibat dari trinitas setan itu,
dengan bahasa yang berbeda, secara implisit diakui oleh Henry Poulson,
Menteri Keuangan A.S. Dalam laporannya sebagai Ketua President’s Working Group(PWG) on Financial Markets (April 2008), Poulson dengan tegas menyatakan bahwa penyebab utama terjadinya krisis subprime mortgages di A.S. adalah: (1) merosotnya mutu/standar penjaminan bagi subprime mortgages;
(2) erosi yang signifikan terhadap disiplin pasar yang dilakukan oleh
pihak-pihak yang terkait dengan proses sekuritisasi, termasuk originators, underwriters, credit rating agencies, dan global investors; (3) kegagalan dalam menyediakan dan memperoleh informasi risiko (risk disclosures) yang memadai; (4) kelemahan yang mencolok (significant flaws) pada perusahaan pemeringkat kredit, khususnya dalam menilai: a) subprime residential mortgage backed securities (RMBS) dan b) collateralized debt obligations (CDOs)yang dikaitkan dengan RMBS dan asset backed securities
(ABS) lainnya; (5) kelemahan manajemen risiko pada sejumlah institusi
keuangan besar di A.S. dan Eropa; dan (6) kelemahan regulasi termasuk
mengenai persyaratan modal dan keterbukaan informasi (disclosure) yang gagal dalam memitigasi kelemahan manajemen risiko.
Keenam hal tersebut di atas yang menurut Poulson marak terjadi sejak
tahun 2004, bertepatan dengan masa jabatan kedua Presiden Bush, secara
sengaja atau tidak sengaja, telah ikut menyuburkan transaksi yang
bersifat gharar dan maisir sehingga transaksi keuangan yang seharusnya didasarkan kepada underline asset, keterbukaan dan fairness berubah menjadi transaksi keuangan yang bersifat sangat spekulatif dan juga addictive yang sangat berbahaya dan sulit dihentikan.
Interaksi pasar modal yang penuh gharar dan maisir dengan perbankan
yang ribawi, selain dengan cepat menggoyahkan sendi-sendi sistem dan
pasar keuangan–akibat asset write down yang menggerus aset dan modal serta bad debt
yang menggerus laba, juga semakin menjauhkan kegiatan sektor keuangan
dari sektor riil. Lebih buruk lagi, dampak negatif tersebut juga harus
dirasakan oleh perusahaan dan negara yang sebelumnya tak ada
permasalahan serius.
Hindari Maghrib
Perlu ditegaskan kembali bahwa ekonomi kapitalisme yang rawan krisis itu, tidak melarang praktik maghrib, sedangkan ekonomi Islam sangat keras mengecamnya. Magrib adalah akronim dari maysir, gharar dan riba.
Tiga macam praktik terlarang inilah yang menjadi faktor dan biang utama
krisis. Maysir adalah kegiatan bisnis yang berbentuk judi dan
spekulasi. Spekulasi selalu terjadi di pasar modal dalam bentuk short selling dan margin trading. Sedangkan gharar
ialah transaksi maya, drivatif dan karena itu ia menjadi bisnis resiko
tinggi). Riba ialah pencarian keuntungan tanpa dilandasi kegiatan
transaksi bisnis riel. Di pasar modal seringkali para investor meraup
keuntungan tanpa adanya underlying asset, atau sektor riel yang
melandasinya. Tujuan investor bukan untuk menanam saham secara riil di
sebuah emiten, tetapi semata untuk meraih gain melalui praktik margin trading. Selain itu harus diketahui bahwa di dalam financial market, margin trading dan fiat standart ditetapkan berdasarkan instrumen bunga.
Di pasar uang kegiatan transaksi spekulasi valas semacam transaksi swap, forward dan options
selalu terjadi. Semua transaksi tersebut bertentangan dengan syariah,
karena mengandung riba. Sementara itu, ekonomi syariah adalah ekonomi
yang berusaha menempatkan keseimbangan antara sektor keuangan dan sektor
riil (atau bisa disebut economy 1 on 1). Artinya ekonomi yang
mengkaitkan secara ketat antara sektor moneter dan sektor reil.
Tegasnya, one monetery unit for one real asset. Dalam kerangka itulah Ekonomi Islam mengajarkan kegiatan bisnis riel melalui jual beli, bagi hasil dan ijarah
Jantung dari sistem ekonomi kapitalisme adalah riba. Riba adalah
punca dari segala macam krisis. Artinya riba adalah biang utama
terjadimya krisis. Kegiatan spekulasi dalam bentuk margin trading dan short selleing di pasar modal adalah riba, karena tanpa dilandasari oleh underlying transaction
yang riel. Kegitan traksaksi derivatif di bursa berjangka dan bursa
komoditi semuanya adalah riba. Kegiatan spekuasi valas dengan motif
untuk spekulasi, bukan untuk transaksi adalah kegiatan ribawi. Sedangkan
untuk jaga-jaga (preceutionary) hukumnya makruh.
Ambillah 100-an buku-buku Islam (fiqh, tafsir dan hadits), lalu lihat
dan analisis-lah definisi riba. Dari ratusan definisi riba itu
disimpulkan, bahwa riba ialah az-ziyadah lam yuqabilha ‘iwadh, artinya, riba adalah tambahan yang diperoleh tanpa didasarkan adanya ‘iwadh.
Iwadh ialah transaksi bisnis riel yang terdiri dari 3 macam, yaitu jual
beli, bagi hasil dan ijarah, Jual beli contohnya ialah seperti jual
beli dengan segala macamnya (jual beli murabahah, salam, istisna),
Transaksi bisnis riel juga dapat diwujudkan dengan bagi hasil dan
ijarah,. Bagi hasil diwujudkan dengan konsep mudharabah, syirkah,
mudharabah musytarakah, musyarakah mutanaqishah dan muzara’ah. Sedangkan ijarah diwujudkan dengan ijarah biasa, ijarah muwazy (paralel), IMBT.
Transaksi mudharabah dan musyarakah serta transaksi jual beli murabahah, salam, istisna’ dan ijarah (leasing),
memastikan keterkaitan sektor moneter dan sektor riel. Oleh karena itu
pula salah satu rukun jual beli ialah ada uang ada barang (ma’kud ‘alaihi). Dengan demikian, future trading dan margin trading
yang tidak diikuti dengan pengiriman barang adalah tidak sah. Jelasnya
bahwa konsep ekonomi Islam menjaga keseimbangan sektor riel dan sektor
moneter. Begitu pula dengan perbankan Islam yang pertumbuhan
pembiayaannya tidak dapat terlepas dari pertumbuhan sektor riel yang
dibiayainya.
Yang jelas tidak boleh ada tambahan (keuntungan) tanpa adanya
transaksi bisnis riel. Seorang spekulan mata uang, yang maraup
keuntungan dari selisih harga beli dollar dan jualnya, adalah pelaku
riba. Dalam ekonomi Islam, uang tidak boleh dijadian sebagai komoditas
sebagaimana yang banyak dipraktikkan dewasa ini dalam kegiatan transaksi
bisnis valuta asing. Menurut Ekonomi Islam, transaksi valas hanya
dibenarkan apabila digunakan untuk kebutuhan transaksi di sektor riel,
seperti membeli barang untuk kebutuhan import, berbelanja atau membayar
jasa di luar negeri dan sebagainya. Jual-beli valas untuk kepentingan
spekulasi, amat dilarang dalam Islam. Jual-beli valas untuk kepentingan
spekulatif menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian.
Dampak spekulasi valas ialah nilai suatu mata uang dapat berfluktuasi
secara liar. Solusinya adalah mengatur sektor finansial agar menjauhi
dari segala transaksi yang mengandung riba, seperti transaksi-transaksi
maya di pasar uang. Mengambil gain dan keuntungan tanpa
didasarkan pada kegiatan bisnis sektor riil adalah riba, baik di pasar
uang maupun di pasar modal. Maka, seorang spekulan saham di pasar modal
juga telah melakukan praktik riba.bahkan lebih jauh ia telah masuk
kepada praktik gharar dan maysir. Demikian pula seorang yang ikut dalam transaksi bursa berjangka juga telah melakukan transaksi ribawi.
Karena ekonomi Islam tidak memisahkan sektor moneter dan sektor riil,
maka jumlah uang yang beredar menurut Islam, ditentukan oleh banyaknya
permintaan uang di sektor riel atau dengan kata lain, jumlah uang yang
beredar sama banyaknya dengan nilai barang dan jasa dalam perekonomian.
Demikian kata Ibnu Taymiyah di buku Majmu’ Fatawa pada abad pertengahan
Islm
Dalam ekonomi Islam, sektor finansial mengikti pertumbuhan sektor
riel, Inilah perbedaan konsep ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional,
yaitu ekonomi konvensional, jelas memisahkan antara sektor finansial
dan sektor riel. Akibat pemisahan itu, ekonomi dunia rawan krisis,
Sebab, pelaku ekonomi tidak lagi menggunakan uang untuk kepentingan
sektor riel, tetapi untuk kepentingan spekulasi mata uang.
Spekulasi inilah yang dapat menggoncang ekonomi berbagai
negara,apalagi negara yang kondisi politiknya tidak stabil. Akibat
spekulasi itu, jumlah uang yang beredar sangat tidak seimbang dengan
jumlah barang di sektor riel.
Spekulasi mata uang yang mengganggu ekonomi dunia, umumnya dilakukan
di pasar-pasar uang. Pasar uang di dunia ini saat ini, dikuasai oleh
enam pusat keuangan dunia (London, New York, Chicago, Tokyo, Hongkong
dan Singapura). Nilai mata uang negara lain, bisa saja tiba-tiba menguat
atau sebaliknya. Lihat saja nasib rupiah semakin hari semakin merosot
dan nilainya tidak menentu.
Di pasar uang tersebut, peran spekulan cukup signifikan untuk
menggoncang ekonomi suatu negara. Lihatlah Inggris, sebagai negara yang
kuat ekonominya, ternyata pernah sempoyongan gara-gara ulah spekulan di
pasar uang, apalagi kondisinya seperti Indonesia, jelas menjadi
bulan-bulanan para spekulan. Demikian pula ulah George Soros di Asia
Tenggara tahun 1997..
Bagi spekulan, tidak penting apakah nilai menguat atau melemah. Bagi
mereka yang penting adalah mata uang selalu berfluktuasi. Tidak jarang
mereka melakukan rekayasa untuk menciptakan fluktuasi bila ada momen
yang tepat, biasanya satu peristiwa politik yang menimbulkan
ketidakpastian.
Menjelang momentum tersebut, secara perlahan-lahan mereka membeli
rupiah, sehingga permintaan akan rupiah meningkat. Ini akan mendorong
nilai rupiah secara semu ini, akan menjadi makanan empuk para spekulan.
Bila momentumnya muncul dan ketidakpastian mulai merebak, mereka akan
melepas secara sekaligus dalam jumlah besar. Pasar akan kebanjiran
rupiah dan tentunya nilai rupiah akan anjlok. Para spekulan meraup
keuntungan dari selisih harga beli dan harga jual. Makin besar
selisihnya, makin menarik bagi para spekulan untuk bermain.
TRANSAKSI DERIVATIF DALAM PERSPEKTIF SYARIAH
(Bagian IV)
Oleh : Agustianto
Kesadaran ekonom dan negara maju
Sebenarnya, sebagian pakar ekonomi dunia telah menyadari kerapuhan sistem moneter kapitalisme seperti itu. Teori Bubble growth dan random walk
telah memberikan penjelasan yang meyakinkan tentang bahaya transaksi
maya (bisnis dan spekulasi mata uang dan bisnis (spekulasi) saham di
pasar modal).
Para pemimpin negara-negara G7 pun, telah menyadari bahaya dan
keburukan transaksi maya dalam perekonomian. Pada tahun 1998 mereka
menyepakati bahwa perlu adanya pengaturan di pasar uang sehingga tidak
menimbulkan krisis yang berkepanjangan. Jadi, bila negara-negara G7
telah menyadari bahaya transaksi maya, mengapa Indonesia masih belum
melihat dampak negatifnya bagi perekonomian dan segera mendorong konsep
dan blueprint ekonomi Islam..
Selanjutnya, untuk meminimalisir kegiatan spekulasi dan bubble
economy para ekonom Barat mengusulkan untuk mengetatkan regulasi
investasi. Ben Bernake, Chairman of Federal Reserve bahkan sampai
meminta kepada konggres AS untuk menyetujui penambahan regulasi bagi
bank investasi agar tidak terjadi spekulasi yang berlebihan di pasar
aset keuangan. Pendapat senada juga diutarakan oleh Direktur IMF
Strauss-Kahn mengenai perlunya penambahan aturan dan transparansi untuk
menghidari krisis yang lebih parah. Meskipun kedua pernyataan ini
terdengar berlawanan dengan semangat kapitalisme AS, namun akhirnya
sebagian ekonom dan pengamat pasar keuangan sepakat bahwa liberalisasi
pasar keuangan cenderung mendorong kepada ketidakstabilan ekonomi.
Joseph Stiglitz, pemenang Hadiah Nobel 2002 dari Harvard University
mengatakan, “Pada akhirnya, Negara AS yang selama ini
membangga-banggakan sistem kapitalisme yang dianutnya ke berbagai negara
di dunia, mendapat kritikan tajam setelah AS sendiri tidak mampu
membuktikan bahwa model ekonomi yang dianutnya adalah model ekonomi yang
bisa mensejahterakan umat manusia”.
Menurut Stiglitz, krisis keuangan di AS yang menjalar menjadi krisis
keuangan global bahkan lebih buruk dari Great Depression pada era
1930-an, telah membuka mata masyarakat internasional akan rapuhnya
sistem kapitalisme yang dianut Negeri Paman Sam. Sistem ini terbukti,
pada akhirnya hanya membuat mereka yang menganutnya menjadi sengsara dan
menderita .(Washington Post)
Sementara itu, menurut Krugman, peraih Nobel Ekonomi 2008, ekonomi
dunia akan mengalami resesi dalam kurun waktu yang lama. Dia mengakui
bahwa krisis ini memang menakutkan,
PernyAtaan senada diungkapkan Investor dunia, George Soros. Dia
menilai krisis yang menerjang pasar finansial saat ini sangat serius.
Krisis ini, menurutnya, lebih hebat dibanding krisis finansial lainnya
sejak berakhirnya Perang Dunia kedua,. Soros menegaskan yang terancam
resesi bukan hanya perekonomian Amerika Serikat saja, tapi juga Eropa.
Karena kegawatan sistem moneter global tersebut, PM Inggris Gordon
Brown mengatakan agar dibentuk arsitektur keuangan dunia baru menyerupai
Bretton Woods yang muncul setelah Perang Dunia II. Bagi Eropa, krisis
ini begitu dalam, AS harus siap dengan sistem baru itu, Christian de
Boissieu, ekonom dan penasihat Presiden Sarkozy. mengatakan pembentukan
sistem itu kemudian harus melibatkan pengganti Presiden Bush.
Di samping itu, Kanselir Jerman Angela Merkel mendukung pertemuan G-8, yang juga dihadiri pemimpin China, Brasil, dan India di New York. Pertemuan itu mengusulkan pembentukan Bretton Woods II, seperti usulan Perancis.
Di samping itu, Kanselir Jerman Angela Merkel mendukung pertemuan G-8, yang juga dihadiri pemimpin China, Brasil, dan India di New York. Pertemuan itu mengusulkan pembentukan Bretton Woods II, seperti usulan Perancis.
Sementara itu, negara-negara kaya dan berkembang yang tergabung
dalam Kelompok 20 (G-20) yang menguasai 85 persen perekonomian dunia,
menyatakan, bahwa mereka bertekad akan menggunakan segala cara untuk
mengatasi krisis finansial yang mengguncang pasar dunia. untuk menjamin
stabilitas dan berfungsinya dengan baik pasar financial.
Para pemimpin Asia dan Eropa yang bertemu dalam Konferensi Tingkat
Tinggi Ke-7 Asem di Beijing, China, pada 25 Oktober 2008 telah
mnyepakati untuk segera melakukan perombakan sistem moneter dan
finansial internasional secara menyeluruh dan efektif. Mereka juga
menyerukan kepada Dana Moneter Internasional (IMF) agar segera mengambil
peran utama dalam membantu negara-negara yang kesulitan keuangan.
Usulan perombakan sistem moneter dan finansial internasional
sebelumnya keras disuarakan Eropa. Kini suara itu makin menguat dengan
dukungan dari negara-negara Asia melalui KTT Asem yang dihadiri para
pemimpin dari 43 negara itu.
Presiden Perancis Nicolas Sarkozy menyatakan, ”Eropa berusaha
menawarkan untuk keluar dari krisis keuangan yang di luar perkiraan. Ini
adalah pertemuan tingkat tinggi yang sangat bermanfaat dan menjanjikan.
Eropa dan Asia memiliki banyak hal yang bisa dilakukan bersama.
Dengan menyatunya suara Eropa dan Asia itu, tinggal Amerika Serikat
yang masih harus menetapkan pendirian. AS selama ini diketahui enggan
merombak sistem finansialnya yang memiliki banyak kelemahan dalam hal
kontrol. Alasannya, karena khawatir akan mengganggu asas perdagangan
bebas.
Ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, pernah mengungkapkan,
kapitalisme mutakhir yang digerakkan sektor keuangan (financially-driven
capitalism) tumbuh pesat luar biasa sejak awal dasawarsa 1980-an.
Transaksi di sektor keuangan meroket ratusan kali lipat dibandingkan
dengan nilai perdagangan dunia
.
Di negara-negara maju, lalu lintas modal bebas bergerak praktis tanpa pembatasan. Sementara itu, makin banyak saja negara berkembang yang mengikuti jejak meliberalisasikan lalu lintas modal. Jika pada tahun 1970-an hanya 20 persen emerging market countries yang tergolong liberal dalam lalu lintas modal mereka, dewasa ini sudah meningkat dua kali lipat.
Di negara-negara maju, lalu lintas modal bebas bergerak praktis tanpa pembatasan. Sementara itu, makin banyak saja negara berkembang yang mengikuti jejak meliberalisasikan lalu lintas modal. Jika pada tahun 1970-an hanya 20 persen emerging market countries yang tergolong liberal dalam lalu lintas modal mereka, dewasa ini sudah meningkat dua kali lipat.
Uang dan instrumen keuangan lainnya tak lagi sekadar sebagai penopang
sektor produksi riil, melainkan telah menjelma sebagai komoditas
perdagangan, diternakkan beranak pinak berlipat ganda dalam waktu
singkat. Produk-produk keuangan dengan berbagai macam turunannya
menghasilkan ekspansi kapitalisme dunia yang semu.
Reformasi Moneter Indonesia
Sudah menjadi keniscayaan bagi Indonesia untuk meredisign kebijakan
ekonomi moneter Indonesia karena sistem kapitalisme yang diterapkan saat
ini bila diteruskan sangat berbahaya bagi kesejahteraan Indonesia di
masa depan. Sistem kapitalisme senantiasa mengancam krisis demi krisis.
Sistem kapitalisme itu sangat rawan dan gampang menciptakan krisis.
Selain itu, sistem kapitalisme akan menciptakan kesenjangan pendapatan
dan ketidak-adilan ekonomi, sistem kapitalisme belum sepenuhnya
berpihak pada kepentingan rakyat banyak
Kegagalan ekonomi kapitalisme seharusnya dijadikan momentum dan
pelajaran bagi bangsa Indonesia untuk melakukan reformasi sistem moneter
secara bertahap Sudah saatnya pemerintah mengubah paradigma kebijakan
pembangunan ekonomi nasional dari orientasi akumulasi kapital kepada
orientasi keadilan sesuai dengan prinsip syariah Islam dan realitas
sosial masyarakat yang bersumber dari akar sejarah bangsa.
Tidak ada satu pihak pun yang memiliki akal sehat, yang menolak
urgensinya pendekatan makro dalam pembangunan ekonomi untuk keselamatan
Negara di masa depan. Pendekatan makro diperlukan untuk menganalisis
perilaku ekonomi masyarakat. Misalnya, mengapa banyak pengangguran dan
kemiskinan ? Mengapa inflasi tinggi? Mengapa nilai kurs berfluktuasi,
mengapa harga-harga saham berjatuhan, dsb.
Selanjutnya, Pemerintah diharapkan (didsak) agar lebih akomodatif
terhadap sistem ekonomi syariah yang telah terbukti selama 40 tahun
berkembang dengan pesat di saat krisis global datang mnelanda secara
bertubi-tubi. Bahkan jika kita menarik sejarah ke masa yang lebih
lampau, tercatat bahwa selama 4000an tahun ekonomi dunia mengalami
stabilitas, hal ini dikarenakan ekonomi syariah memiliki konsep yang
unggul dalam mewujudkan stabilitas, kesejahteraan, dan inflasi serta
keadilan / pemerataan.
Selama ini sudah memang ada perbankan dan LKS, namun dalam skala yang
lebih luas dan makro, pemerintah belum menjadikan ekonomi syariah
sebagai sistem ekonomi andalan. Jika Indonesia masih berkiblat ke Barat
(Amerika dan Eropa) yang memiliki sistem ekonomi yang rapuh, maka
yakinlah Indonesia pasti akan terancam krisis terus-menerus sepanjang
sejarah. Kebijakan pemerintah baru-baru ini (Kontan, 25 April 2009),
yang tidak menggunakan dollar dalam transaksi di Departemen Perhubugan
patut diacungi jempol dan hendaknya regulasi ini diterapkan secara
bertahap ke berbagai macam transkasi lainnya, dunia parawisata, dan
sebagainya.
Selanjutnya, pemerintah jangan setengah hati menerapkan bank-bank
syariah, asuransi syariah, surat berharga syariah negara, pasar modal
syariah, leasing, pegadaian syariah dan lembaga keuangan mikro syariah
yang pro kepada sektor riil dan kemaslahatan ekonomi rakyat. Dengan
krisis ini sesungguhnya Allah hendak mengingatkan betapa sistem ribawi
itu ternyata merusak dan menghancurkan perekonomian umat manusia. Inilah
makna firman Allah Luyuziiqahum ba’dhal lazi ‘amiluu la’allahum yarj’iuun. (QS.30 : 41)
Maksudnya, krisis itu Kami timpakan kepada mereka (akibat ulah tangan
mereka), supaya mereka kembali kepada sistem yang benar, sebuah sistem
ilahiyah yang berasal dari Tuhan Allah. Itulah ekonomi syariah. Allahu
Akbar.
Indonesia, harus dengan cepat dan cerdas mengambil langkah-langkah
drastis untuk mengatasi crisis global. Dampak ke sektor perbankan memang
perlu diantisipasi secara prioritas, termasuk dampak psikologis,
mengingat peranan sektor perbankan yang lebih besar serta trauma krisis
moneter tahun 1997-1998.
Tantangan yang dihadapi perekonomian Indonesia juga masih cukup besar
termasuk masih adanya tekanan inflasi dan nilai tukar (Indonesia
adalah satu-satunya negara menaikkan suku bunga!!) serta masih
tingginya tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan. Perlu
ditambahkan bahwa target-target ekonomi makro yang tercantum dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) belum ada yang
tercapai sesuai yang direncanankan.
Kestabilan ekonomi termasuk kestabilan sektor keuangan merupakan
prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Oleh karena itu,
langkah-langkah jangka pendek di atas, perlu segera disertai dengan
langkah-langkah untuk membami dan meninggalkan sistem dan praktek
trinitas setan sebagaimana diutarakan sebelumnya, apalagi bagi Indonesia
yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Sistem keuangan dan
perbankan syariah yang bebas dari riba, gharar dan maisir sebagaimana
dimaksud dalam UU Perbankan Syariah yang telah diundangkan baru-baru
ini, perlu segera dikembangkan secara serius. Namun sistem keuangan
tanpa trinitas setan itu, juga belum dan masih perlu dilengkapi dengan
nilai-nilai ekonomi islami lainnya. Sistem ekonomi islami telah secara
tepat dijadikan acuan oleh para pendiri atau founding fathers
kita sebagaimana tercantum dalam Mukadimah dan sejumlah pasal UUD 1945
yang pada pokoknya mengimpikan terciptanya masyarakat yang adil dan
makmur.
Ajaran-ajaran Islam, seperti perintah untuk berlaku adil khususnya
bagi para penguasa atau umara, perintah untuk membayar zakat, infak dan
sedekah bagi orang yang berada, hukum waris, anjuran untuk hidup
sederhana serta larangan hidup mewah dan berlebihan (prohibition of extravagance),
perintah untuk membantu fakir miskin, penyelenggaraan baitul maal oleh
negara dan lainnya, jelas sangat sarat dengan nilai-nilai keadilan
(justice) termasuk keadilan distributif (distributive justice) dan nilai-nilai kemakmuran bersama (social welfare)
sumber : http://shariaeconomics.wordpress.com/2011/02/27/transaksi-derivatif-dalam-perspektif-syariah-2/
—————————————————————————–
Seiring dengan pesatnya permintaan terhadap instrumen keuangan yang
patuh terhadap prinsip-prinsip syariah baik itu datangnya dari individu
maupun corporate, maka perlulah ada guidelines dan parameters disetiap
produk yang ditawarkan khususnya produk-produk yang masih menjadi
debatable dikalangan ulama modern. Salah satu instrumen tersebut adalah
bagaimana para investor maupun korporasi yang ingin mengamankan posisi
(hedging) mereka ketika melakukan sebuah transaksi dapat menggunakan
instrumen yang sesuai syariah sehingga transaksi yang mereka lakukan
tidak melanggar aturan agama. Dikarnakan jikalau instrumen ini tidak
diberikan paramaters dan guidelines dikhawatirkan akan cuma menjadi
produk konvensional yang diberikan nama syariah oleh para playersnya.
Selain itu, produk ini dapat dijadikan tempat spekulasi dimana hal ini
lumrah terjadi di instrumen keuangan konvensional.
Ada beberapa parameters yang perlu kita jadikan pertimbangan dalam
penggunaan Islamic derivative sebagai sebuah tool untuk hedging
mechanism seperti yang dilakukan oleh AAOIFI ketika menyebutkan sebuah
produk yang masih debatable, dan hal ini dilakukan juga oleh DSN-MUI
ketika mengesahkan Komoditi Syariah di Bursa Berjangka sehingga produk
ini tidak disalah gunakan oleh perbankan syariah yang notabene lahirnya
untuk investasi ke sector ril. Kemudian, hal ini juga di usulkan oleh
pemerhati keuangan Syariah seperti Dr. Aznan Hasan dan Dr. Asyraf wajdi
dusuki dalam tulisan mereka dengan tujuan untuk menghilangkan unsur
maghrib (maysir, gharar dan riba) didalam instrumen tersebut.
Islamic Derivative untuk Hedging Mechanism
Mungkin banyak sekali yang menyayangkan kenapa Islamic derivative
harus muncul dan digagas oleh beberapa shariah scholars dikarnakan
tuntutan oleh beberapa investor besar dan korporasi yang
sudah ngeh dengan produk syariah. Dikarnakan term derivative ini sudah
memiliki image buruk dikalangan teman-teman yang sudah mengerti
bagaimana buruknya derivative dalam menghancurkan system keuangan
dikarnakan disetiap instrumen mereka menggunakan system membeli risiko
dan memakain instrumen interest didalam setiap transaksinya.
Seperti contohnya di produk futures dan forwards, instrumen ini
dilarang didalam syariah dikarnakan pertama, banyak sekali yang
menggunakan instrumen ini untuk spekulasi bukan untuk membeli barang
tersebut sebenarnya, maka dari itu di Islamic derivative harus diganti
instrumen ini dengan bay’ al-salam dimana buyer betul-betul akan membeli
produk ini bukan untuk spekulasi, yang kedua, permasalahan diproduk ini
mereka mengakhirkan harga dan barang sekaligus dimana hal ini dilarang
didalam syariah. Sebagaimana syariah melarang pengakhiran harga dan
barang dalam satu waktu (laa yajuuzut ta’jil al badalain). Maka syariah
mengisyaratkan untuk memakai konsep bay’ al-‘urbun dimana buyer yang
akan membeli instrumen tersebut membayar uang muka tanda jadi yang ini
akan masuk menjadi bagian dari harga barang tersebut. Ketiga
permasalahannya adalah penggunaan interest (riba) didalam setiap
transaksinya, maka syariah melarang memasukkan interest didalam
instrumen ini dikarnakan mentreat uang sebagai komoditas, maka dari itu,
haruslah dilihat dari barang akan akan dibeli. Hal ini bisa dilakukan
di option juga baik itu call option ataupun put option.
Contoh lainnya adalah yang biasa digunakan adalah swap, dimana swap
ini menurut Marshall dan Kapner di perkenalkan lebih awal dibandingkan
produk derivative lainnya. Sebagaimana contohnya currency swap
diperkenalkan di Amerika pada tahun 1970an. Menariknya, instrumen ini
diterima baik oleh public pada saat itu dimana total transaksi swap naik
lebih dari USD 700 milyar di tahun 1989 dengan total outstanding swap
mencapai USD 4,6 triliun pada tahun 1992. Yang menarik lagi adalah
menurut Bank of International Settlement, transaksi swap secara global
mencapai lebih dari USD 415,2 triliun pada tahun 2006. Dimana
perusahaan, bank, asuransi, dan institusi keuangan lainnya sangat
merasakan manfaat dari instrumen ini khususnya untuk hedging dari
volatilitas pasar keuangan. Akan tetapi yang menjadi isu syariah diswap
ini adalah penggunaan interest didalamnya, spekulasi dan kadang-kadang
yang diswap bukanlah instrumen yang sesuai atas syariah. Atau kadang
mereka menswap sesuatu yang real dengan sesuatu yang tidak real seperti
yang terjadi di credit default swap (CDS) dimana swap ini murni
spekulasi dari investor (buyer).
Maka dari itu, dengan adanya Islamic swap nanti, haruslah menggunakan
akad-akad yang sesuai dengan syariah dengan tujuan murni untuk hedging
bukan untuk spekulasi.
Kenapa Islamic Derivative?
Meskipun proposal ini sempat ditolak mentah-mentah oleh mantan ketua
AAOIFI syeikh Taqi Usmani, akan tetapi produk ini tetap diperlukan
dikarnakan perusahaan dan investor besar memerlukan instrumen ini untuk
menghedging posisi mereka. Jika tidak, maka transaksi yang dilakukan
investor ini adalah spekulasi dimana mereka berspekulasi atas setiap
transaksi mereka karna tanpa menggunakan hedging instrument.
Ada beberapa alasan Islamic derivative ini digunakan, sebagaimana
derivative pada umumnya, yaitu bisa mengurangi biaya, jikalau misalnya
dikhawatirkan harganya akan naik di tiga bulan kemudian, bisa
mengakseske market yang lebih besar lagi dan bisa menjalankan transaksi
sesuai dengan syariah.
Syariah Parameters dalam Islamic Derivative
Secara umum, ketika kita berbicara mengenai instrumen Islamic
derivative, tujuan utama dari pengembangan instrumen ini tidak lain
tidak bukan tidak jauh berbeda dengan kovensional yaitu hedging. Jika
kita langsung memandang produk ini tidak bisa dilaksakan karna sama saja
dengan conventional derivative, mungkin hal ini dinilai kurang tepat
karna struktur yang kita tawarkan sangat berbeda dengan derivative di
konvensional pada umumnya meskipun dari sisi nama sudah memiliki image
yang tidak baik. Maka dari itu, menurut pendapat penulis pribadi, saya
lebih melihat struktur akad tersebut dibandingkan dengan namanya.
Meskipun ada beberapa ulama klasik maupun modern lebih melihat esensi
dari namanya bukan strukturnya. Gagasan saya ini sependapat dengan imam
hanafi dialam kumpulan hukum di bukunya Majallatul ahkam al-‘adliyah
dimana beliau mengatakan,“al ‘ibroh fil ‘uqud lil maqosid wal ma’ani laa
lil alfaz wal mabani”, yang maksudnya adalah, esesnsi sebuah akad itu
harus dilihat dari maksud dan maknanya, bukan dilihat dari nama yang
dibgunakan. Sebagaimana kaidah fikih mengatakan “al ‘ibroh lil
musammayat laa bil asma’ “ yang maksudnya esensi sesuatu itu dilihat
dari tujuannya bukan namanya.
Hybrid Contract di Islamic Derivative
Pada dasarnya, ketika kita berbicara masalah Islamic derivative, hal
ini berkaitan dengan penggabungan beberapa akad didalam sebuah kontrak,
atau penggabungan perjanjian didalam sebuah transaksi. Dimana kalau hal
ini kita kaitkan ke konteks syariah, maka secara explicit penggabungan
dua akad atau lebih didalam sebuah transaksi itu dilarang didalam hukum
syariah.
Sebagaimana didalam sebuah hadits hasan di kitab al muwatto’ 2/ 657
dan 663, nay al awthor 5/152 menyebutkan, “Naha rasulullah s.a.w ‘an
bay’atain fi bay’ah wa ‘an sofqotain fi sofqoh, wa ‘an bay’ wa salaf”.
Di Hadits ini jelas sekali bahwasanya Rasulullah s.a.w melarang
penggabungan dua akad didalam satu kontrak, penggabungan 2 transaksi
didalam satu transaksi, begitujuga pelarangan penggabungan jual beli
dengan hutang.
Jika kita mengikuti begitu saja larangan ini secara harfiyah, maka
akan sulit kita mempraktekkan perbankan syariah dizaman modern ini.
Karna pada umumnya, akad-akad transaksi di perbankan syariah saat ini
gabungan dari dua akad atau lebih. Begitu juga di instrument Islamic
derivative, akad yang biasa digunakan adalah tawarruq, bay’ al-urbun dan
ak-wa’du. Secara otomatis sudah tidak sesuai dengan syariah.
Akan tetapi AAOIFI tahun 2007 telah memberikan resolusi No. 25
bahwasanya seluruh penggabungan akad ini diperbolehkan asalkan akad satu
dengan akad lain terpisah (‘uqud mustaqillah), kecuali penggabungan
akad jual beli dengan hutang. Selanjutnya AAOIFI memberikan peraturan
penggabungan akad sebagai berikut:
1. Penggabungan akad tidak boleh menggabungkan akad yang telah jelas
dilarang didalam syariah seperti penggabungan jual beli dan hutang
didalam satu akad.
2. Penggabungan akad tidak boleh digunakan sebagai trick (hilah)
untuk menghalalalkan riba atau bunga. Seperti perjanjian jual dan beli
kembali (sale and buy back agreement) antara dua pihak (bay al-‘inah)
atau riba fadhl.
3. Penggabungan akad tidak boleh digunakan sebagai alat untuk riba
misalnya creditur meminjamkan uang supaya bisa mendapatkan hadiah dari
debitur atau memberikan manfaat lainnya seperti tumpangan dan lain lain.
4. Penggabungan akad tidak boleh kontradiksi dengan esensi akad
tersebut. Sebagai contoh, seperti di akad mudharabah, tidak boleh ada
garansi profit dengan memakai akad hibah yang dijaminkan, atau
penggabungan penukaran mata uang dengan jualah, atau bay al-salam dengan
jualah.
Parameter diatas juga dilakukan oleh Shariah Advisory Council di
beberapa keuangan syariah di dunia seperti, Kuwait Finance House, Calyon
Global Islamic bank, DSN-MUI, HSBC, RHB Islamic bank. Sebagai contoh
ketika meeting Shariah Advisory Council Kuwait Finance House No.23/2006
pada tanggal 19 September 2006 di Kuwait, pada saat mengevaluasi produk
Ijarah Rental Swap dengan menggunakan akad wa`ad mulzim min taraf
wahid (unilateral binding promise) pada transaksi musawamah dan
tawarruq, mereka memberikan empat persyaratan supaya sesuai dengan
syariah;
Pertama, perjanjian didalam transaksi tersebut haruslah real,
betul-betul transaksi bukan akal-akalan. Maksudnya adalah ketika
transaksi ini terjadi harusnya benar-benar terjadi transaksi barang pada
umumnya, keinginan seller untuk menjual, dan keinginan buyer untuk
membeli dengan barang yang sudah jelas wujudnya. Kalau tidak, kita akan
terperangkap dalam konsep fictitious tawarruq yang sudah diaplikasikan
oleh banyak bank syariah baik itu dinegara tetangga maupun dibelahan
dunia lainnya baik itu timur tengah ataupun eropa. Karna dari data yang
terkumpul, hanya 2.7% transaksi komoditi murabahah dan tawarruq
betul-betul digunakan oleh end user, dan 97.3% digunakan untuk transaksi
derivative oleh speculator.
Kedua, setiap perjanjian tersebut haruslah mempunyai efek
masing-masing akad yang digunakan, seperti contoh, ketika terjadi jual
beli, maka perpindahan hak milik haruslah terjadi.
Ketiga, akad satu dengan yang lainnya haruslah terpisah (uqud mustaqillah).
Keempat, akad ini tidak boleh mensyaratkan sesuatu hal antara pihak penjual dan pembeli,
Didalam transaksi Islamic Derivative ini, ada beberapa tambahan
parameters yang harus kita perhatikan supaya Islamic Derivative ini
sangat mencolok perbedaannya dengan konvensional. Contoh, didalam
transaksi derivative, barang yang diperdagangkan sering tidak real dan
kadang tidak jelas keberadaannya, karna pada dasarnya transaksi ini
dibuat untuk spekulasi, maka dari itu, syariah tidak membolehkan untuk
memperdagangkan barang yang tidak real seperti transaksi di index emas
dimana emas yang diperdagangkan disini bukanlah mas yang sebenarnya akan
tetapi hanya mengacu pada harga emas di dunia. Ketika terjadi claim
dari pembeli ingin mengambil emas yang dia punya, ia hanya bisa
mengklaim uangnya saja, bukan emas, karna emas hanya dibuat sebagai
komoditi index saja, bukan emas yang sebenarnya.
Maka dari itu, tambahan parameter syariah selanjutnya adalah:
Kelima, barang yang diperdagangkan haruslah barang yang real, ada wujudnya.
keenam; harus ada perpindahan kepemilikan (transfer of ownership).
Hal ini juga menjadi perhatian penting ketika terjadi sebuah transaksi
terutama transaksi Islamic Derivative. Barang yang menjadi objek
perdagangan harus betul-betul berpindah kepemilikan dari penjual kepada
pembeli tanpa ada embel-embel apapun. Jika tidak, kita akan terjebak
kepada konsep bay’ al-inah dimana disana tidak terjadinya perpindahan
kepemilikan dan implikasinya si pembeli harus menjual kembali barang itu
dengan harga yang lebih rendah untuk mendapatkan uang tunai.
Keempat; dapat diantarkan ke pembeli jika di inginkan. Hal ini untuk
menyatakan bahwasanya barang yang ditransaksikan Islamic Derivative ini
adalah barangnya ril dan berwujud, ada perpindahan kepemilikan yang
jelas, maka dari itu jika ini betul, maka ketika terjadi permintaan dari
pembeli untuk mengirimkan komoditi tersebut ke tempat yang dia
inginkan. Maka kewajiban penjual adalah mengantarkan komoditi tersebut
ke pembeli dengan ketentuan yang berlaku, baik itu berapa hari komoditi
ini bisa sampai ke tangan pembeli, dan berapa cost yang dikenakan kepada
pembeli.
Kelima; barangnya harus bernilai sesuai dengan harga pasar. Hal ini
sangatlah penting, karna kita tidak menginginkan konsep Islamic
Derivative yang ada diluar diterapkan di Negara kita tercinta ini yang
notabene paling syariah dari aspek shariah compliance sebuah produk.
Jika tidak, kita hanya memperdagangkan sesuatu asset yang mana nilainya
tidak sesuai dengan harga pasar masa itu. Meskipun kita juga bisa
memakai konsep supply dan demand, akan tetapi ini harus dilandaskan
dengan pricing yang jelas.
Keenam; lokasi barang yang ditransaksikan harus diketahui. Poin ini
juga sangat penting, karna kita tidak mungkin memperdagangkan sesuatu
yang kita tidak tau dimana letak barang yang dimaksud. Hal ini mungkin
harus diawasi oleh dewan pengawas syariah di perusahaan tersebut dan
memastikan bahwasanya barang tersebut ada di kota A, bertempat di pabrik
B, kecamatan C di kilang X. dikarnakan, dalam pengesahan setiap produk
Islamic Derivative di beberapa Negara, Shariah Advisornya memastikan
barang yang ditransaksikan jelas keberadaannya.
Ketujuh; barangnya harus halal dan boleh menurut undang-undang. Hal
ini juga telah menjadi poin utama di fatwa DSN No. 82 ketika mengesahkan
fatwa komdoiti syariah, supaya tidak melanggar undang-undang Negara
indonesia dan sesuai dengan syariah.
Kedelapan; harus jelas jenis, kualitas dan kuantitas yang
diperdagangkan. Poin ini untuk menghilangkan gharar dari sebuah
transaski. Jikalau jenis, kualitas dan kuantitasnya diketahui, maka
gharar ini akan berpindah dari gharar fakhish (ketidak pastian yang
besar) menjadi gharar yasir(ketidak pastian yang kecil) yang
diperbolehkan dalam syariah. Seperti layaknya pembolehan Bay’ Salam yang
awalnya tidak dibolehkan, akan tetapi dibolehkan dengan syarat
sebagaimana disebutkan dalam hadis, salam dibolehkan asal jenis,
kualitas dan kuantitasnya diketahui dan waktu pengirimannya ditetapkan.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas ketika rasulullah tiba di
Madinah menemukan banyak masyarakat yang telah mempraktekkan jual
beli forward (seperti salam) untuk buah-buahan dalam satu atau dua
tahun. Lalu Rasulullah bersabda: Barang siapa yang bertransaksi salam
kurma (untuk disampaikan nanti) haruslah mereka bersalam dengan jenis,
kualitas dan kuantitas yang jelas dengan waktu yang jelas juga.
(Bukhari, sahih, III, 234-44, hadith no. 441 dan 443)
Kesembilan; tidak boleh dipergunakan untuk keperluan short-selling.
Hal ini untuk memastikan bahwasanya tidak ada issu menjual sesuatu akan
tetapi penjual tidak memiliki barang tersebut, ataupun pembeli membeli
barang tersebut dengan cara hutang.
Kesepuluh; barang yang diperdagangkan harus siap guna, bukan yang
masih diolah. Ketentuan ini adalah untuk memastikan bahwasanya kita
tidak memperdagangkan sesuatu yang tidak bisa digunakan oleh pembeli.
Jangan sampai dalam transaksi Islamic Derivative ini menjual sesuatu
yang masih diolah sehingga akan menghambat pengiriman ketika sang
pembeli menginginkan barang tersebut dikirimkan kepadanya.
Peran Dewan Pengawas Syariah
Pengawas syariah sangat berperan penting dalam transaksi Islamic
Derivative ini sehingga tidak melanggar prinsip-prinsip syariah. Karna
peran dewan pengawas syariah disini sangat penting, maka dari itu
perlulah dipilih orang-orang yang betul-betul memahami seluk beluk
transaksi yang ada di Islamic Derivative dan menguasai fikih secara
mendalam. Sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak di inginkan
kedepannya dan menciptakan image lama terulang kembali dimana dewan
pengawas syariah hanya digunakan sebagai pajangan dalam menghalalkan
sebuah transaksi yang berbasis syariah.
Maka dari itu, perlu pengawasan ketat dan fit and proper test yang
baik harus dilakukan kepada orang-orang yang akan menjadi dewan pengawas
syariah di bursa komoditi syariah ini. Ada beberapa ilmu yang minimal
harus dikuasai dewan pengawas syariah di bursa komoditi ini: pertama,
harus mengetahui seluk beluk transaksi di bursa efek terutama Islamic
Derivative. Apalagi jiakalau yang bersangkutan punya pengalaman dalam
melakukan transaksi Islamic Derivative. Kedua, harus memahami fikih
muamalah khususnya yang berkaitan dengan transaksi Islamic Derivative.
Ketiga, harus mengetahui ilmu pasar modal syariah sehingga bisa terus
mengecek kesyariahan produk ini. Keempat adalah yang tidak kalah penting
yaitu mengetahui bahasa arab dan bahasa inggris, karna istilah-istilah
yang digunakan dalam transaksi ini berdasarkan dari dua bahasa tersebut.
Penutup
Islamic Derivative adalah instrumen yang masih dibilang sangat baru
di industri keuangan syariah di dunia, bahkan di Indonesia pun belum ada
transaksi ini, maka dari itu perlu ada pengembangan lebih dalam
kedepannya oleh pakar keuangan syariah. Disisi lain, produk ini jikalau
kita lihat cuma dari nama yang tercantum saja tanpa melihat strukturnya
lebih jelas, maka kita akan terjebak pengharaman sepihak tanpa melihat
sisi syariahnya.
Kedepan, diharapkan ada masukan-masukan yang hangat untuk industri
keuangan syariah terutama pengembangan produk, karna pada dasarnya
Indonesia adalah Negara Investasi yang empuk bagi dunia umumnya dan
timur tengah khususnya, tinggal mereka menunggu produk-produk dan
instrumen unggulan yang dikeluarkan oleh Indonesia beserta undang-undang
yang mendukung. Jika kita tidak merespon keinginan pasar yang besar
ini, dikhawatirkan kita tidak bisa mengambil potensi pasar yang besar
ini. Lebih khusus lagi, dua tahun kedepan kita akan menyongsong era baru
industri keuangan syariah dibawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang
mana haruslah ada masukan dan ide-ide segar yang digelontorkan, sehingga
tidak mencegah pertumbuhan keuangan syariah kedepannya. Wallahua’alammu
bisshawab
Penulis adalah Faculty Member (Trainer) Keuangan Syariah di Lembaga
Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI). Beliau juga Aktif sebagai
Sekretaris Ikatan Ahli Ekonomi Islam (DPP IAEI Pusat), selain itu,
beliau juga Dosen Perbankan Shariah dan Pasar Modal Shariah di
Universitas Al Azhar Indonesia, Pascasarjana Universitas Trisakti,
Universitas Islam Az Zahrah, Konsultan Asuransi Shariah, Perbankan
Shariah dan Pasar Modal Shariah Zakirah Group, Trainer Fikih Muamalah on
Islamic Banking and Finance Di Iqtishad Consulting MES, R&D
WakafPro99 Dompet Dhuafa Jawa Barat, Kandidat Ph.D Islamci Banking and
Finance (IIiBF) International Islamic University Malaysia. Selain itu,
beliau juga sering diundang jadi pembicara baik itu dalam maupun luar
negri.
Sumber: Majalah Sharing Edisi January 2012
H.M. Iman Sastra Mihajat Ph.D
Candidate of Islamic Banking and Finance (IIiBF) International Islamic University Malaysia
Tel: +60 17 2542253/ +62 838 22068882 www.imansastra.blogspot.com
Tel: +60 17 2542253/ +62 838 22068882 www.imansastra.blogspot.com
Sumber : www.forsei.org/artikel/ekonomi-islam/196-syariah-parameters-dalam-penerapan-islamic-derivative.html
——————————————————————–
Walmsley (1998) percaya bahwa paling tidak ada empat kegunaan
derivative yaitu: pengalihan risiko (risk tansfer), peningkatan
likuiditas (liquidity improvement), penciptaan kredit (credit creation),
dan penciptaan ekuitas (equity creation). Dengan menggunakan derivative
maka investor atau pengusaha dapat mengalihkan risiko keuangannya
karena mereka telah melindungi diri dari ketidakpastian (hedging the
risk). Karena derivative dapat dengan mudah diperdagangkan di pasar
uang, maka derivative dipercaya sebagai instrument yang likuid (mudah
cair) karena investor atau pengusaha dapat menguangkan derivative di
pasar uang dengan relative cepat dikala mereka membutuhkan uang.
Derivatif juga dapat menciptakan kredit dan ekuitas karena instrument
derivative memperluas sumber kredit dan ekuitas dengan menciptakan jenis
kredit dan ekuitas yang baru. Walmsley menegaskan bahwa manfaat
penciptaan kredit dan ekuitas ini timbul karena investor dan pengusaha
memiliki lebih banyak instrument Keuangan yang bisa dipilih.
Meskipun Walmsley mengakui bahwa ada juga kelemahan dari derivative, seperti bisa menimbulkan ketidakstabilan, tapi Walmsley berkesimpulan: “On balance, however, the innovations that have been made are almost certainly beneficial for the system as a whole” yang terjemahannya kurang lebih adalah bahwa secara umum derivative yang ada sebagai inovasi instrument Keuangan dapat dipastikan akan menguntungkan untuk sistem (keuangan) secara keseluruhan.
Meskipun Walmsley mengakui bahwa ada juga kelemahan dari derivative, seperti bisa menimbulkan ketidakstabilan, tapi Walmsley berkesimpulan: “On balance, however, the innovations that have been made are almost certainly beneficial for the system as a whole” yang terjemahannya kurang lebih adalah bahwa secara umum derivative yang ada sebagai inovasi instrument Keuangan dapat dipastikan akan menguntungkan untuk sistem (keuangan) secara keseluruhan.
Fatwa MUI tentang Jual Beli mata uang, ada jenis transaksi yang
diperbolehkan dan ada yang dilarang. Yang dihalalkan cuma Spot,
sedangkan Transaksi Forward, Swap, Option termasuk yang dilarang
(haram).
sumber :
genghiskhun.com/perbedaan-alur-judi-dengan-jual-beli-biasa
sumber :
genghiskhun.com/perbedaan-alur-judi-dengan-jual-beli-biasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar